Mengenal Ciri Khas Masjid Agung Demak, Hasil Akulturasi Budaya

Mengenal Ciri Khas Masjid Agung Demak, Hasil Akulturasi Budaya

Mengenal Ciri Khas Masjid Agung Demak, Hasil Akulturasi Budaya-Tangkapan layar diswayjateng.id-

diswayjateng.id - Masjid Agung Demak adalah salah satu masjid tertua yang terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak. Masjid bersejarah ini dibangun pada akhir abad ke-15 Masehi, pada masa pemerintahan kesultanan Demak yang pertama, yaitu Raden Patah, dan berada di lokasi strategis dekat alun-alun serta pusat keramaian Demak.

Sunan Kalijaga, yang dikenal sebagai arsitek masjid ini, mengintegrasikan berbagai unsur keislaman dengan budaya lokal Jawa serta pengaruh Hindu-Buddha. Hal ini menjadikan Masjid Agung Demak unik dengan arsitektur yang khas, mencerminkan akulturasi dari berbagai budaya tersebut.

BACA JUGA:5 Julukan Kota Demak yang Unik, Kota Wali hingga Batik

Ciri Khas Masjid Agung Demak

Berdasarkan informasi dari Good News From Indonesia, arsitektur Masjid Agung Demak mencerminkan tradisi arsitektur Indonesia yang kaya akan nilai-nilai simbolis. Desainnya yang sederhana namun megah memancarkan keanggunan, keindahan, dan aura karismatik yang kuat.

1. Tiang Utama Masjid  

Masjid Agung Demak didukung oleh empat tiang utama yang terbuat dari kayu jati yang kuat, dikenal dengan sebutan Soko Guru. Nama Soko Guru diambil dari nama para wali, karena diyakini bahwa tiang-tiang ini adalah pemberian dan hasil karya para wali itu sendiri.

Tiang-tiang tersebut diletakkan di berbagai arah: sebelah barat laut oleh Sunan Bonang, sebelah barat daya oleh Sunan Gunung Jati, sebelah tenggara oleh Sunan Ampel, dan sebelah timur laut oleh Sunan Kalijaga.  

Keempat tiang ini tidak hanya berfungsi sebagai struktur utama, tetapi juga melambangkan empat arah mata angin, yang mencerminkan kerjasama para wali dalam menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia.  

2. Atap Masjid

Salah satu ciri paling mencolok dari Masjid Agung Demak adalah atapnya yang berbentuk tumpang tiga atau limas bersusun tiga. Menurut Khusni dalam investor.id, atap ini terbuat dari sirap kayu dengan jumlah mencapai 52 ribu lembar.

Atap ini melambangkan tiga tingkatan akidah dalam Islam. Lapisan bawah melambangkan Islam, yang merupakan rukun Islam sebagai pondasi utama. Lapisan kedua melambangkan Iman atau keyakinan, sedangkan lapisan teratas melambangkan Ihsan, yaitu kesempurnaan dalam beribadah.

Bentuk atap limasan ini sering ditemukan dalam struktur rumah tradisional Jawa, yaitu Joglo. Hal ini tidak hanya mencerminkan kedekatan masyarakat Jawa dengan masjid, tetapi juga menunjukkan ketinggian spiritual dalam nilai-nilai agama Islam.

3. Pintu dan Jendela Masjid  

Pintu Masjid Agung Demak dikenal dengan nama Pintu Bledheg, yang dalam bahasa Jawa berarti pintu petir. Pintu ini dibuat oleh Ki Ageng Selo, yang diyakini memiliki kemampuan untuk menangkap petir. Pintu Bledheg ini juga berfungsi sebagai prasasti Candra Sengkala dengan kalimat Naga mulat saliro wani, yang menunjukkan tahun 1388 Saka.  

Daun pintu dihiasi dengan ukiran sulur-suluran, jambangan, mahkota, tumpal, camara, dan kepala naga yang didominasi oleh warna merah. Motif tumpal melambangkan hubungan antara manusia dan Tuhan.  

Motif mahkota melambangkan Al-Wahid atau Maha Esa. Motif jambangan merepresentasikan agama Islam. Motif flora melambangkan kesuburan dan kesejahteraan, sedangkan motif kepala naga melambangkan kekuatan dalam berdakwah.  

Beragam motif yang terdapat pada Pintu Bledheg mencerminkan sosok yang diyakini sebagai petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Kiasan ini menunjukkan bahwa keberagaman motif adalah bentuk toleransi dan fleksibilitas ajaran para wali, yang mengambil wadah yang ada dan mengganti isinya dengan ajaran Islam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: