Sintren Desa Jatilaba Kabupaten Tegal, Tradisi Mistis yang Tak Lekang oleh Zaman ‎

Sintren Desa Jatilaba Kabupaten Tegal, Tradisi Mistis yang Tak Lekang oleh Zaman ‎

SINTREN - Sejumlah warga menonton pertunjukkan tari sintren di Desa Jatilaba, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal.Foto: Yeri Noveli/diswayjateng.id ‎--

SLAWI, diswayjateng.id – Ketika musim kemarau tiba dan hamparan sawah di Desa Jatilaba, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal mulai retak-retak karena panas, ada satu hiburan yang selalu dinanti warga, yaitu, pertunjukan sintren. Bukan sekadar tontonan, kesenian ini adalah napas budaya yang menyatukan mistis, keindahan, dan tradisi masyarakat pesisir utara Jawa.

‎Di tengah malam yang lengang, diiringi tabuhan musik tradisional dan aroma kemenyan yang menguar, muncullah sosok gadis muda dengan busana warna-warni. Parasnya ayu, gerak tariannya gemulai, matanya kosong seolah bukan lagi dirinya. Dialah sintren, penari yang dipercaya tengah dirasuki roh halus. Dari situlah, keajaiban dimulai.

‎“Sintren ini sudah ada sejak dulu, turun-temurun. Biasanya digelar waktu kemarau panjang, supaya warga terhibur,” tutur Kepala Desa Jatilaba, Jumadi, saat ditemui di kantornya.

‎Menurut Jumadi, masyarakat Jatilaba yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, menjadikan kesenian sintren sebagai hiburan rakyat ketika sawah tidak bisa digarap karena kekeringan. Namun, seiring perkembangan zaman, sintren tetap dipentaskan meski kini warga sudah menggunakan sumur pompa untuk bertani di musim kemarau.

BACA JUGA:Pasar Raya 2025 Resmi Dibuka, Wujud Komitmen Menjaga Warisan Budaya ‎

BACA JUGA:Honor Penjaga Makam Cagar Budaya Terbayar ‎

‎“Sekarang masih sering diadakan. Bahkan, warga biasanya iuran sendiri kalau mau nonton sintren di lapangan,” ujarnya.

‎Desa Jatilaba tercatat memiliki empat kelompok sintren yang masih aktif hingga kini: Sintren Cilik Katol Katol, Sintren Mayang Dinar, Sintren Si Bonang, dan Sintren Sekar Lintang. Keempatnya bukan hanya tampil di desa sendiri, tapi juga sering diundang ke berbagai daerah seperti Brebes dan Tegal.

‎“Terakhir malam Minggu kemarin, warga bikin acara sintren di lapangan desa. Ramai sekali, banyak penonton dari desa tetangga,” kata Jumadi.

‎Dalam setiap pertunjukan, penari sintren biasanya dimasukkan ke dalam kurungan ayam dengan tangan terikat dan pakaian belum dikenakan. Beberapa menit kemudian, saat kurungan dibuka, penari itu sudah mengenakan busana lengkap dan tampak cantik, seolah berpakaian dengan bantuan ‘tak kasat mata’. Dari situlah keajaiban sintren semakin terasa.

BACA JUGA:MGMP Seni Budaya SMP/MTs Kota Tegal Gelar Implementasi Strategi Deep Learning

BACA JUGA:Zona Integritas WBK, Wujudkan Budaya Kerja Bebas Korupsi

‎Tak jarang pula, penonton ikut terbawa suasana dan mengalami kesurupan. Musik pengiring bertalu, suara sorak sorai warga berpadu dengan magisnya malam, menjadikan pertunjukan sintren sebagai pengalaman budaya yang sulit dilupakan.

‎Setiap kali tampil, grup sintren mendapat bayaran antara Rp2 juta hingga Rp5 juta, tergantung jumlah personel dan panjang durasi pertunjukan. Meski demikian, bagi warga Jatilaba, uang bukanlah tujuan utama. Melestarikan budaya leluhur jauh lebih berharga.

‎“Kami sudah usulkan agar empat grup sintren ini mendapat bantuan perlengkapan pentas dari Pemkab Tegal. Semoga bisa terealisasi,” pungkas Jumadi.

‎Dan begitulah, di tengah modernisasi yang terus merangsek, sintren tetap menari di bawah sinar bulan, menjadi saksi bahwa di Jatilaba, seni dan spiritualitas masih berpadu dalam harmoni yang indah.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: