BATANG, diswayjateng.id - Selama ini, pemahaman masyarakat soal Corporate Social Responsibility (CSR) masih setengah matang.
Masih banyak yang mengira CSR adalah kegiatan sosial sesaat seperti operasi pasar minyak goreng.
“Itu bukan CSR, itu charity, dan charity tidak sustain, tidak terencana,” tegas Eduard Depari, wartawan senior yang kini dikenal juga sebagai akademisi bidang komunikasi.
Dalam pelatihan Fellowship Journalism on CSR yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bekerja sama dengan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), Eduard memaparkan kebingungan umum yang terjadi
BACA JUGA: 16 Wartawan dan Mahasiswa Terpilih Ikuti Journalism Fellowship on CSR 2025, Termasuk Disway Jateng .
BACA JUGA: Ketua Dewan Pers Buka Journalism Fellowship on CSR 2025, Ini Pesannya
CSR, katanya, haruslah bagian dari strategi jangka panjang perusahaan, bukan sekadar aksi reaktif yang hanya muncul saat ada krisis.
Praktisi komunikasi dan jurnalis senior itu mengutip contoh besar dari Bill Gates Foundation, yang memberikan beasiswa lintas negara tanpa batas wilayah—itulah esensi CSR.
“CSR harus lintas komunitas, bahkan lintas negara. Kalau cuma di sekitar perusahaan, itu namanya Community Relations (CR), bukan CSR,” tambahnya.
Eduard tidak hanya mengkritik pemahaman publik, tapi juga menggugat regulasi pemerintah.
BACA JUGA: Menteri Wihaji Ajak Korporasi Jadi Orang Tua Asuh Ibu Hamil Lewat Genting, TBIG Sejalan
Menurutnya, aturan yang mewajibkan semua BUMN melakukan CSR adalah langkah yang keliru secara filosofi.
“CSR itu tindakan moral, tidak bisa diwajibkan lewat peraturan. Kalau dipaksakan, hilang nilai etikanya,” kata Eduard.
Ia menyebut, aneh sekali bila perusahaan milik negara seperti BUMN dan BUMD diminta menyelenggarakan CSR.