Sebab, perusahaan milik pemerintah memang sudah punya kewajiban utama: menyejahterakan rakyat.
“Kalau BUMD itu CSR, lalu kewajiban pemerintah di mana? Masa rakyat dibantu lewat program sukarela?” ujarnya.
Salah satu contoh yang dijadikan rujukan oleh Eduard adalah operasi pasar minyak goreng oleh sebuah perusahaan di Tangerang.
Perusahaan itu mengklaim kegiatan itu sebagai CSR karena menjual minyak goreng dengan harga murah di tengah kelangkaan.
“Itu hanya terjadi di komunitas sekitar dan sifatnya temporer. Itu filantropi, bukan CSR,” ucapnya mantap.
Ia menggarisbawahi bahwa kegiatan CSR harus berkelanjutan, terencana, dan berdampak luas—tidak bisa asal tempel logo perusahaan lalu mengklaim kebaikan.
Pelatihan jurnalis yang diikuti 16 peserta terpilih ini tidak sekadar berbagi teori, tapi juga mengajak wartawan lebih kritis dan cermat dalam menulis soal CSR.
Banyak berita yang keliru menyebut kegiatan promosi atau pemasaran sosial sebagai CSR.
“Social marketing itu upaya branding, bukan tanggung jawab sosial. Jangan disamakan,” kata Eduard.
Dengan pemahaman yang keliru ini, wartawan dianggap turut menyebarkan narasi yang menyesatkan publik soal apa itu CSR sebenarnya.
Eduard menekankan bahwa CSR adalah bentuk tanggung jawab moral sebuah perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan.
Tanggung jawab itu tidak bisa dipaksakan lewat regulasi. Namun, bukan berarti CSR tidak boleh diatur.
Yang terpenting, menurutnya, perusahaan harus melihat CSR sebagai investasi moral dan sosial jangka panjang.
Kegiatan ini mendapat dukungan dari PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) yang dikenal aktif dalam program tanggung jawab sosialnya.
TBIG tidak hanya menjalankan CSR, tapi juga mengedukasi publik lewat kolaborasi strategis seperti pelatihan ini.
Melalui Fellowship Journalism on CSR, diharapkan para jurnalis mampu menyampaikan narasi yang tepat dan tidak sekadar menjadi corong promosi perusahaan.