Pelanggaran Hukum Terstruktur, Sistematis dan Masif Penyelenggara Pemilu Pilpres-Wapres

Kamis 04-04-2024,22:45 WIB
Reporter : Agus mutaalimin
Editor : Laela Nurchayati

DISWAY JATENG - Teori TSM (Terstuktur, Setematis dan Masif) dalam mengadili sengketa pemilihan kepala daerah untuk pertama kalinya diterapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur pada tahun 2008. 

Dalam putusannya yang pada saat itu bisa dibilang kontroversi, Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan agar KPU Jawa Timur melakukan  Pemilihan Umum Kepala Daerah di sejumlah tempat di Jawa Timur dan Madura. Selanjutnya teori ini dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah di Bengkulu Selatan dan Kota Waringin Barat.

Terobosan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim MK saat itu patut diapresiasi, mengingat selama ini Sengketa Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi hanya berkisar pada masalah hasil perolehan suara masing-masing peserta pemilihan umum.

Dalam pertimbangan hukumnya ketika melahirkan konsep atau teori Pelanggaran TSM, antara lain oleh Mahfud, MD (2013) Guru Besar Fakultas Hukum UII dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu dijelaskan “bahwa terobosan yang dilakukan oleh MK adalah untuk membangun keadilan substantif.

BACA JUGA:Berharap Mahkamah Konstitusi Kembali Ke Marwahnya dalam Memutus Sengketa Pilpres

Artinya apa yang dibangun di MK bukan hanya kebenaran hukum formil saja sebagaimana tertulis dalam undang-undang melainkan adalah keadilan”. Dalam batas-batas tertentu  hukum dan keadilan memang berbeda. Selanjutnya oleh  Mahfud, MD juga dikatakan hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan, sedangkan keadilan  belum tentu sama dengan hukum. Hukum menghendaki kesamaan rumusan abstrak, sedangkan keadilan dalam banyak hal menghendaki banyak penerapan dalam kasus-kasus kongkret.

Pelanggaran Terstruktur, artinya  pelanggaran itu dilakukan oleh struktur pemerintahan ataupun oleh penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu KPU dengan cara merekayasa hasil perolehan suara, sehingga ada pihak yang menang dan kalah di luar kehendak rakyat ataupun kehendak hukum yang menghendaki pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Sistematis, artinya hasil pemilu telah direncakan terlebih dahulu sedemikian rupa sebelum pemungutan suara melalui langkah-langkah yang terencana  untuk mengalahkan atau memenangkan salah satu kontestan. Masif, artinya mengakibatkan  kesalahan hasil secara besar-besaran karena menghegomoni komunitas yang besar.

Dikhawatirkan akibat hukum atas terjadinya Pelanggaran TSM baik oleh  struktur pemerintahan maupun oleh penyelenggara Pemilu bisa mengakibatkan adanya perintah pemilu ulang  maupun diskualifikasi Putusan KPU sebagaimana telah dilakukan oleh MK di atas.

BACA JUGA:PB PMII Cemaskan Pilpres 2024 Dalam Genggaman Oligarki

Dalam Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden kali ini, diduga Presiden Joko Widodo lewat kekuasaanya yang ada telah memanfaatkan bawahanya mulai dari Menteri, Polri maupun TNI, serta aparat negara lainya mulai tingkat  Kepala Daerah sampai dengan Kepala Desa untuk memenangkan Pasangan 02.

Atas permintaan dari Kuasa Hukum baik Pasangan 01 dan Pasangan 03, kepada  MK telah diajukan  permohonan kepada Ketua Majelis Hakim MK, agar bisa dihadirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Perdagangan Zulfikli Hasan dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia  dan Kebudayan Muhajir Effendi serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Harto. Selain itu juga dijadwalkan pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).   

Meski permohonan kuasa hukum Pemohon 01 dan 03 tersebut ditolak akan tetapi Majelis Hakim berkepentingan untuk mendengarkan keterangan baik dari Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menko Perdagangan maupun Menko Bidang Pembangunan Manusia berkaitan dengan pembagian bansos menjelang pelaksanaan pemilu, diharapkan ke empat Menteri/Menko di atas akan didengar kesaksianya pada hari Jumat tgl 5 April ini.

Masalah krusial lainya yang diajukan oleh Pasangan 01 dan 03 dalam Sengketa Pilpres di MK saat ini, salah satu diantaranya adalah berkaitan dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang diduga tidak sesuai dengan perundangan, terutama terkait dengan masalah batas umur minimalnya.

Meski MK telah memberikan payung hukumnya berupa Keputusan No 90 /PUU-XXI/2023 tentang  Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat  dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Caprers/Cawapres. Akan tetapi ternyata Putusan MK tersebut belum diakomodir oleh KPU ketika  menerima berkas pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta dalam Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden tahun 2024-2029.

Kategori :