Pasangan Lansia di Pekalongan Bawa Kasus Dugaan Mafia Tanah ke Ranah Hukum

Lansia di Pekalongan laporkan dugaan mafia tanah di Polres--Bakti Buwono/ diswayjateng.id
Sementara itu, kasus perusakan barang terkait dengan penebangan pohon dan tanaman buah di atas tanah korban, yang dilakukan tanpa izin pemilik sah demi kepentingan pihak lain.
"Kami menuntut agar hak korban dikembalikan seperti semula. Jika ada utang piutang, harusnya ada penyelesaian yang adil, bukan malah dimanfaatkan untuk merampas hak orang lain," lanjutnya.
BACA JUGA: Gegara Utang Rp3.000, Pasangan Lanjut Usia di Pekalongan Terancam Kehilangan Tanah
BACA JUGA: Diduga Terlibat Mafia Tanah, Tujuh Pejabat BPN Ditetapkan sebagai Tersangka
Sebelumnya, pasangan lansia di pekalongan ini mengaku terancam kehilangan tanah karena utang sebesar Rp 3.000. Warsiti, warga miskin Desa Tangkil Kulon, Kecamatan Kedungwuni, mengungkap bahwa ia tidak pernah menjual tanahnya, tetapi tiba-tiba kepemilikannya berpindah tangan.
"Saya tidak pernah merasa menjual, tapi kebun malah dijual sepihak tanpa persetujuan dan tanda tangan saya," ujar Warsini (69) saat ditemui di rumahnya, Minggu, 2 Februari 2025.
Didampingi suaminya yang telah lama menderita stroke, Warsiti menjelaskan bahwa masalah ini berawal dari utang kepada seorang warga desa pada tahun 1980-an.
Tanah seluas 166 meter persegi dijadikan jaminan. Saat itu, ia sempat berpesan bahwa pohon di kebun boleh dipetik buahnya untuk sementara, dengan harapan suaminya sembuh dan bisa kembali bekerja untuk melunasi utang.
BACA JUGA:Alokasikan Rp3,3 Miliar, DPUPR Kota Pekalongan Kebut Perbaikan 31 Ruas Jalan Rusak karena Banjir
BACA JUGA:Program MBG Kota Pekalongan Dimulai, 6.000 Pelajar Terima Makanan Bergizi Gratis
Namun, setelah kondisi suaminya membaik, Warsiti justru mendapati tanahnya telah berpindah kepemilikan.
Upaya menebus kembali tanahnya menemui jalan buntu, bahkan pihak desa terkesan tidak peduli.
"Saya malah diminta menghadirkan pemberi utang ke balai desa. Tapi anehnya, saya sebagai korban justru tidak diajak bicara," keluhnya.
Warsiti baru mengetahui tanahnya telah dijual seharga Rp 56 juta kepada seorang perangkat desa.
Penjualan tersebut diduga kuat melibatkan kepala desa yang menjabat saat itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: