Membingkai Potret Budaya Kudus Masa Lalu, Seniman Jateng dan DIY HadirkMuseum Rakyat di Pegunungan Muria

Membingkai Potret Budaya Kudus Masa Lalu, Seniman Jateng dan DIY HadirkMuseum Rakyat di Pegunungan Muria

Sebanyak 15 seniman individu dan kolektif dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menggelar karya mereka dalam Folktarium Muria—museum terbuka yang menyebar di 15 titik desa. -arief pramono/diswayjateng.id-

“Folktarium Muria menjadi panggung terbuka bagi semua. Setiap gang, halaman rumah hingga tempat ibadah, kami ubah jadi ruang edukatif dan kontemplatif,” kata Zaini.

Zaini menyebut, Pameran Residensi bertajuk Tapa Ngeli: Muria, Santri, Kretek, sebagai langkah awal menuju pembangunan berbasis budaya berkelanjutan.

Kampung Budaya Piji Wetan bertekad menjadikan pameran ini sebagai tradisi tahunan yang tidak hanya mendokumentasikan budaya saja. Namun juga menggerakkan roda ekonomi dan pendidikan desa.

“Pameran Residensi bukan sekadar seni. Ini tentang bagaimana desa menyuarakan dirinya melalui karya. Sejumlah seniman ini berinteraksi dan menyelami kehidupan warga Piji Wetan sebagai bagian dari proses kreatif,” terang Zaini.

Tak hanya menampilkan karya, para seniman juga membuka ruang diskusi dan pertunjukan seni. Harapannya, masyarakat tak hanya menjadi penonton, tetapi juga turut membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga nilai-nilai lokal yang mulai terpinggirkan.

“Tahun ini menjadi fase penting untuk memetakan dan mendokumentasikan karya. Nantinya bisa dituangkan dalam bentuk buku, pengarsipan digital, hingga kolaborasi lintas sektor,” tambah Zaini.

Dalam jangka panjang, Kampung Budaya Piji Wetan diharapkan bisa menjadi model pembangunan berbasis budaya. Selain itu, memadukan pendidikan, pariwisata dan ekonomi lokal, tanpa meninggalkan akar spiritualitas dan kearifan lokal yang diwariskan Sunan Muria.

Eksplor Kehidupan Warga Desa Kaki Muria

Salah satu kolektif yang mencuri perhatian dalam pameran kali ini adalah Jaladara. Mereka adalah kelompok seniman perempuan, yang mengangkat peran perempuan Piji Wetan dalam tradisi rewang.

Melalui karya bertajuk Pawon: Perigi di Balik Panggung Perayaan, mereka memindahkan alat-alat dapur ke ruang publik, memberi panggung pada kerja-kerja perempuan yang selama ini tersembunyi di balik dapur.

“Melalui residensi ini, kami menemukan bagaimana dapur menjadi ruang solidaritas, pewarisan nilai, dan pusat pengambilan keputusan sosial,” ujar Anis Machfudoh, seniman Jaladara.

Mereka juga menerbitkan zine yang berisi dokumentasi narasi perempuan desa. Berupa glosarium dapur, hingga potret rewang sebagai kebudayaan.

Tak hanya instalasi, pertunjukan interaktif seperti memasak, menyeduh kopi hingga tradisi nginang juga digelar bersama ibu-ibu desa.

“Kami ingin mengembalikan martabat dapur sebagai ruang kolektif, bukan sekadar tempat memasak,” imbuh Anis.

Sementara itu, Kurator Pameran Residensi Tapangeli, Karen Hardini menambahkan, kegiatan ini mempertemukan seniman dan kolektif seni dari berbagai daerah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: