Formulasi Penundaan Penanganan Perkara Pidana dalam Sengketa PrayudisiaI untuk Mewujudkan Kepastian Hukum
--
Ketika perkara prajudisial dikembalikan kepada penyidik, maka tahap selanjutnya penyidik akan menindaklanjuti dengan melakukan penanganan perkara prajuducial tersebut. Permasalahan yang dihadapi, pada tahap penyidikan hingga saat ini belum ada aturan yang dapat dijadikan rujukan dalam penundaan perkara prajudisial pada tahap penyidikan. Dari hasil penelusuran produk hukum dilingkungan Polri terkait penanganan perkara yang belum dapat dilimpahkan kepada JPU, baru ditemukan adanya surat edaran kapolri nomor: SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018, tentang Penghentian Penyelidikan dan Surat edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018, tentang Penerapan Keadilan Restorative dalam Penanganan Perkara Pidana.
Merujuk pada substansi kedua surat edaran tersebut secara yuridis belum ditemukan skema Tindakan hukum terhadap perkara prejudisial. Akibatnya timbul keraguan dikalangan penyidik ketika akan menerapkan skema penundaan perkara prajudusial. Kekosongan hukum ini pada tahap selanjutnya akan berpotensi memicu terjadinya ketidakpastian hukum, karena adanya perlakuan yang berbeda dalam menangani perkara yang memuat sengketa prajudisial antara penyidik satu dengan lainnya. Hal ini tentunya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Moeljatno, bahwa kepastian hukum setidak-tidaknya mempersyaratkan adanya sebuah hukum positif dan substansinya dirumuskan dengan jelas.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, Penulis berpandangan bahwa untuk mendekati terwujudnya kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial, dibutuhkan konsep ideal formulasi penundaan penanganan perkara pidana dalam sengketa prayudisial. Konsep ideal tersebut secara sistematis diperoleh melalui upaya penemuan hukum yaitu proses konstatering, kualifikasi, dan konstituir yang mana hasil dari proses ini akan membuat aparat penegak hukum bertemu pada beberapa kemungkinan jawaban yaitu (1) menunda atau tidak menunda bergantung pada ada atau tidaknya ketergantungan antara dua perkara; atau (2) menunda atau tidak menunda karena walaupun apgakkum merasa tidak diperlukan putusan lain, tetapi para pihak mengajukan perkara di pengadilan lainnya; (3) tidak perlu ditunda karena antar putusan tidak terkait sehingga tidak akan muncul putusan kontradiktif. Ketiga langkah tersebut diharapkan mampu mendorong penegakan hukum yang sistematis oleh apgakkum sehingga mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Kedepan, untuk mewujudkan kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial sedini mungkin, maka idealnya peraturan perundang-undangan yeng mengatur tentang penundaan penanganan perkara prajudisial pada tahap penyidikan harus dipersiapkan dengan baik. Karena tahap penyidikan ini merupakan pintu gerbang awal masuknya perkara pidana kedalam sistem peradilan pidana indonesia.
Karena saat ini dilingkungan polri belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman dalam penundaan penanganan perkara prjudisial, maka disampaikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Polri dapat melakukan amandemen terhadap Perkap No 06 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana; dan peraturan kabareskrim No 1 tahun 2022 tentang standart operasional prosedur pelaksanaan penyidikan tindak pidana, untuk selanjutnya memasukkan ketentuan mengenai mekanisme penundaan penanganan perkara prajudisial kedalam substansi peraturan baru tsb; (2) sambil menunggu proses amandemen terhadap peraturan diatas, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, Kapolri dapat menerbitkan surat edaran tentang pedoman penundaan penanganan perkara prajudisial. Sehingga penyidik memiliki pedoman yang jelas ketika menangani perkara prajudisial. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: jateng.disway.id