Formulasi Penundaan Penanganan Perkara Pidana dalam Sengketa PrayudisiaI untuk Mewujudkan Kepastian Hukum

Formulasi Penundaan Penanganan Perkara Pidana dalam Sengketa PrayudisiaI untuk  Mewujudkan Kepastian Hukum

--

Oleh : Kombes Pol Dr. Dwi Agus  Prianto, SIK.,MH.

 

Prejudiciel geschill (prejudicele geschillen) dalam Kamus Istilah  Hukum Fockema Andrea, berarti sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakang. Di Indonesia, ketentuan prejudiciel geschil diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980. SEMA itu membagi prejudiciel geschil menjadi dua yaitu : Pertama, prejudiciel a l' action, yaitu mengenai perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 284 KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus lebih dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana. Kedua, question prejudiciel au jugement, yakni menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP.

 

Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan bukan kewajiban kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Lebih lanjut, jika hakim hendak menggunakan lembaga ini, hakim pidana tidak terikat pada putusan hakim perdata yang bersangkutan. Demikian ketentuan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 1956.

 

Perkara yang memuat prajudisial geschil terdapat perlakuan penanganan yang berbeda antara perkara satu dengan lainnya, tidak ada keseragaman dan kepastian hukum dalam penanganan prajudisial geschil. Dampaknya banyak aduan dan komplain dari masyarakat karena merasa diperlakukan tidak adil dan tidak mendapat perlindungan hukum.  Dalam beberapa literatur dan yurisprudensi putusan pearadilan, banyak sekali argumentasi para pihak berperkara yang mendalilkan bahwa perkara yang dihadapinya seharusnya tidak diperiksa terlebih dahulu dalam lingkup peradilan pidana, melainkan harus diperiksa diperadilan perdata terlebih dahulu karena memuat sengketa prajudisial.

 

Masing-masing institusi peradilan di atas pada dasarnya menerapkan hukum dan melakukan penindakan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan bidang kewenangannya, namun pada praktiknya penerapan hukum dan penindakan terhadap pelanggar hukum seringkali melibatkan beberapa bidang kewenangan karena suatu perbuatan mengandung unsur-unsur yang diatur pada 2 (dua) norma hukum yang berbeda. Persinggungan antar norma hukum inilah yang selanjutnya menimbulkan ‘perselisihan pra-yudisial’, yaitu pada waktu yang bersamaan baik dalam lingkungan peradilan yang sama atau berbeda, terjadi titik singgung pemeriksaan antar perkara.

 

Adanya pertemuan 2 norma hukum yang berbeda yang ditangani dalam proses peradilan berbeda inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai: (1) perkara manakah yang harus diputuskan lebih dahulu; (2) perkara manakah yang seharusnya ‘ditunda’ atau ‘dihentikan’ atau ‘ditangguhkan’; dan (3) sebagai alternatif, dapatkah kedua perkara dilakukan pemeriksaan secara bersamaan. 

 

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga sudah menerbitkan Surat Edaran nomor: B/230/E/EJP/01/2013, tanggal 22 Januari 2013, perihal penanganan perkara pidana umum yang obyeknya berupa tanah. Dalam surat edaran tersebut ditegaskan agar para Jaksa Penuntut Umum tidak tergesa-gesa menerbitkan P21 terhadap perkara pidana tanah yang ditanganinya. Apabila terkait obyek perkara tersebut terdapat gugatan perdata atau TUN agar JPU menunda atau menangguhkan penanganan perkara pidananya menunggu hingga ada putusan perkara perdata/TUN nya.

 

Apabila kita cermati, semangat dari substansi surat edaran Jaksa agung tersebut tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan hukum berupa adanya kepastian hukum bagi masyarakat yang menghadapi perkara prejudicial geschil, agar perkaranya tidak terkatung-katung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: jateng.disway.id