
KUDUS, diswayjateng.id- Pegunungan Muria Kudus yang sarat dengan budaya kearifan local warisan Sunan Muria, potensinya kini terus dieksplor oleh para seniman local dan seniman dari DIY dan Jawa Tengah.
Kali ini, mereka menghadirkan Folktarium yang identik dengan museum rakyat terbuka di Kampung Budaya Desa Piji Wetan, Kecamatan Dawe Kudus. Agenda budaya ini menjadi sejarah baru sebagai kampung pertama di Jawa Tengah yang menghadirkan Folktarium.
Agenda budaya ini didukung sejumlah seniman local dan berbagai kota di Pulau Jawa. Diantaranya dari Jogjakarta, Solo, Madura, Rembang, Kudus dan kota lainnya.
Melibatkan warga desa setempat, para seniman pun membingkai cerita lokal dalam sebuah karya seni rupa, instalasi, hingga pertunjukan untuk menghidupkan kembali folklore Muria.
BACA JUGA:UMKM Lokal Alsintan Berlabel SNI, Bupati Kudus: Siap Modernisasi Pertanian
Sentuhan seni dan budaya, kini mewarnai urat nadi warga Dukuh Piji Wetan. Kampung dengan aktivitas warga yang kesehariannya bertani dan berternak, kini menjelma menjadi ruang naratif menyuguhkan karya seni, instalasi budaya dan pertunjukan yang hidup.
Perwajahan baru salah satu desa di lereng Pegunungan Muria ini, terbingkai melalui Pameran Residensi bertajuk Tapa Ngeli: Muria, Santri, Kretek.
Sebanyak 15 seniman individu dan kolektif dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menggelar karya mereka dalam Folktarium Muria—museum terbuka yang menyebar di 15 titik desa.
Dalam pameran yang dibuka sejak Senin (21/4/2025) hingga Sabtu (26/4/2025) ini, merupakan eksplorasi seni yang dilakukan sejumlah seniman yang membaur bersama warga setempat selama hampir dua bulan.
BACA JUGA:Kudus Torehkan Sejarah Perfilman, Gelar FFAB 2025 Tingkat Nasional
Koordinator Kampung Budaya Piji Wetan, Muchamad Zaini alias Jessy Segitiga mengatakan, pameran ini bukan sekadar ajang seni saja. Namun juga upaya menghidupkan kembali folklore dan kearifan lokal yang selama ini tersembunyi.
“Kami ingin menyelami kembali memori masyarakat Pegunungan Muria yang mulai pudar. Melalui karya-karya ini, cerita-cerita lama dimunculkan lagi dengan pendekatan baru,” ujar Zaini.
Sejumlah narasi yang diangkat dalam pameran pun cukup menarik. Yakni tiga tema besar yakni Muria, Santri, dan Kretek menjadi jembatan antara sejarah dan masa kini.
Para seniman pun menyerap pengalaman selama tinggal di desa, berbincang dengan warga, dan mendokumentasikan jejak-jejak budaya dalam bentuk visual, audio, hingga pertunjukan performatif.
“Folktarium Muria menjadi panggung terbuka bagi semua. Setiap gang, halaman rumah hingga tempat ibadah, kami ubah jadi ruang edukatif dan kontemplatif,” kata Zaini.