DISWAY JATENG - Nelayan hingga pelaku usaha perikanan memprotes penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia.
Terlebih, dalam kebijakan itu ada ancaman tidak akan diterbitkan Standar Laik Operasi (SLO) dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) bagi nelayan, jika tidak mematuhi aturan PIT. ”Protes dan penolakan ini bukan dari pelaku usaha perikanan dan nelayan Pantura Tegal saja, melainkan dari seluruh wilayah Jawa bahkan daerah lain,” kata Ketua Bidang Ketahanan Pangan Maritim Industri dan Perdagangan Dewan Koperasi Kota Tegal Riswanto, Minggu (15/10/2023). Menurut Riswanto, kebijakan yang orientasinya sebagai target untuk menggenjot PNBP sektor kelautan dan perikanan dengan mekanisme penarikan sistem PNBP pasca produksi, pelaku usaha perikanan dan nelayan merasa menjadi ajang pemaksaan pembayaran denda-denda di luar pembayaran PNBP. BACA JUGA:Kapal Nelayan Tegal Terbalik di Laut Kramat, 1 ABK Hilang ”Terlebih para pelaku usaha mendapat ancaman tidak akan diterbitkan SLO dan SPB sampai pembekuan izin usaha, apabila palaku usaha oleh KKP dianggap tidak patuh,” katanya. Padahal, mekanisme di lapangan pengawasan dalam pelaporan secara mandiri sangat ketat. Namun yang terjadi sering ada perselisihan. Hal ini berdampak pada keresahan serta tidak kondusifnya usaha sektor kelautan dan perikanan. ”Kami banyak menerima keluhan dari pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan yang izin usahanya sudah diurus sesuai aturan berlaku saat ini dengan sistem PNBP pasca produksi. Dimana konon katanya berkeadilan karena dengan penarikan PNBP sistem pasca produksi bagi kapal penangkap ikan yang tidak beroperasi alias menganggur tidak akan ditarik PNBP dan PHP-nya,” jelas Riswanto yang juga ketua DPD HNSI Jawa Tengah. Kendati demikian, praktiknya kapal yang tidak beroperasi atau menganggur tapi saat akan bersiap melaut dan mengurus perizinannya, oleh petugas KKP ditagih denda puluhan sampai ratusan juta rupiah. Selain itu, wajib dibayarkan sebelum diterbitkan SLO dan SPB. Jika pelaku usaha tidak memenuhi kewajiban membayar denda itu, lanjut dia, kapalnya tidak akan diterbitkan SLO dan SPB. Sebab, sistem e-pitnya di blok sampai dengan pembekuan izin usaha. BACA JUGA:Catat! Tanggal 21 Juli Ribuan Nelayan Tegal Siap Lurug Istana ”Kegaduhan ini mestinya tidak perlu terjadi. Namun karena kebijakan yang dibuat sangat bertolak belakang dengan realita praktik yang terjadi di lapangan, permasalahan ini pada akhirnya akan menimbulkan reaksi dan sikap dari kalangan pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan,” tegasnya. Keresahan juga terjadi di kalangan pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan kapal ukuran dibawah 30 GT. Khususnya terkait kebijakan migrasi kapal penangkap ikan yang izinnya menjadi kewenangan daerah kab/kota dan provinsi. Namun bagi kapal yang wilayah operasinya di atas 12 mil, sebelumnya hanya dikenakan retribusi daerah, kini dibebani kewajiban dengan membayar PNBP dan kewajiban pemasangan VMS membayar air time. Dimana harganya itu mahal ke pemerintah pusat. Hal ini dirasakan sangat memberatkan karena terkena beban double pungutan. Mestinya, kata dia, aturan yang dibuat untuk menciptakan iklim usaha di sektor kelautan perikanan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk keberlangsungan usaha penangkapan ikan. Di mana saat ini tengah mengalami kelesuan di tengah terus naiknya harga BBM solar industri untuk sektor kelautan yang sampai hari ini KKP tidak dapat berbuat banyak memberikan skema solusi. ”Ini karena kenaikan BBM solar industri berdampak pada membengkaknya biaya operasional melaut dan menurunnya pendapatan bagi hasil baik bagi pelaku usahanya maupun para ABK kapalnya. Sebab, tidak diimbangi dengan harga ikan,” ungkapnya. (gus)