JAKARTA, (DiswayJateng)-- Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen yang diajukan DPD RI dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Anwar Usman dalam Sidang Putusan Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang digelar di Gedung MK, Jalan Medan Mereka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (7/7).
"Menyatakan permohonan Pemohon pertama (DPD RI) tidak dapat diterima. Dan menolak permohonan Pemohon kedua (PBB) untuk seluruhnya," ujar Anwar Usman dikutip melalui kanal Youtube MK RI.
Dalam poin pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, MK menolak gugatan DPD RI adalah karena lembaga negara tidak memiliki kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur soal (presidential threshold).
"Pemohon satu (DPD RI) bukan merupakan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan-putusan di atas (Putusan MK Nomor 74/PUU-XVIII/2020, Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021)," papar Manahan.
Sementara itu, PBB yang dianggap memiliki kedudukan hukum dalam pengujian Pasal 222 UU 7/2017 karena merupakan parpol peserta Pemilu Serentak 2019, MK menilai pertimbangan hukum yang diajukan tidak beralasan atau berdasar menurut hukum.
Padahal dalam pokok permohonannya, PBB menggunakan batu uji yang beberapa di antaranya berbeda dalam menguji konstitusionalitas norma a quo, jika dibanding gugatan serupa yang sudah diputus sebelumnya oleh MK.
Batu uji PBB antara lain adalah menggunakan UUD 1945 Pasal 6A ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 22E ayat (1); Pasal 28D ayat (1) dan (3);Pasal 28J ayat (1) dan (2); Pasal 4 ayat (1).
"Ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus Mahkamah sebelumnya," kata Hakim Konstitusi Aswanto.
Di samping batu uji yang berbeda, PBB juga mengemukakan 11 dalil permohonan yang diantaranya memiliki perbedaan dibanding permohonan perkara serupa sebelumnya yang diputus ditolak oleh MK.
"Terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon kedua dengan permohonan-permohonan yang telah diputus sebelumnya. Antara lain, Pasal 222 UU 7/2017 telah menjadikan pemilu dikontrol oligarki, dan penguasa modal, sehingga bukan hasil kedaulatan rakyat ataupun pilihan subtantif partai politik," papar Aswanto membacakan dalil hukum PBB.
"Kedua, pasal a quo telah menghilangkan partisipasi publik dan hanya mengakomodir kepentingan elite politik. Ketiga, telah menciptakan polarisasi masyarakat," sambungnya.
Meski begitu, MK menyatakan bahwa meski batu uji dan dalil-dalil yang berbeda disampaikan PBB, pada intinya substansi permohonan a quo adalah soal konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 yang sama dengan permohonan Pemohon-pemohon sebelumnya yang diputus ditolak oleh MK.
Bahkan disebutkan Aswanto, sebelum ada Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur (presidential threshold), norma serupa telah diatur di dalam Pasal 9 UU 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres).
"In casu Pasal 9 UU 42/2008 ini telah beberapa kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, dan Mahkamah tetap pada pendiriannya, adalah konstitusional," ucap Aswanto.