Lebih lanjut, Aswanto memperkuat pertimbangan hukum MK terkait konstitusionalitas presidential threshold yang tertuang di dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 26/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 46/PUU-XI/2013, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Putusan MK Nomor 108/PUU-XI/2013.
Berdasarkan keputusan-keptusan tersebut, MK menegaskan bahwa ketentuan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk undang-undang.
"Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II (PBB) pada anggapan muncul ekses negatif seperti oligarki dan polarisasi akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum," ucap Aswanto.
"Karena tidak terdapat jaminan dengan dihapuskannya syarat ambang batas maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan tidak terjadi lagi," tandasnya.