Menjerat Parpol Asal Comot, Bisakah?

Menjerat Parpol Asal Comot, Bisakah?

ilustrasi pemilu 2024-Istimewa-

Proses verifikasi, --baik verifikasi administrasi dan verifikasi faktual bagi parpol nonparlemen--, adalah untuk memvalidasi terhadap parpol sebagai prasyarat menjadi anggota Pemilu. ini lah yang menjadi pengontrol dan menjaga hak-hak para pihak tersebut. Jangan sampai hak mendirikan partai politik, menciderai hak pribadi warga negara lain. Yang kemudian menjadi temuan dari Bawaslu tersebut.

Begitulah, banyak sekali masyarakat yang tidak tahu dirinya terdaftar sebagai anggota parpol. Masyarakat tentu sangat dirugikan, karena faktanya data pribadi mereka digunakan tanpa sepengetahuan dirinya.

Cukupkah Sanksi Administrasi?

Dari serangkaian verifikasi terhadap parpol memang cukup membuahkan hasil. Setidaknya ada sekian parpol yang tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024 akibat terganjal pada tahapan verifikasi administrasi. Bahkan, parpol baru kemudian yang lolos administrasi pun banyak yang terganjal saat verifikasi faktual di lapangan. Bahkan, mayoritas tidak memenuhi syarat. Meski menimbulkan sengketa yang kini belum final. Kita masih menunggu pengumuman KPU RI, 14 Desember 2022.

Pertanyaan yang kemudian layak diketengahkan adalah, apakah sebatas lolos dan tidak lolos saja yang harus diterima parpol yang terbukti tidak memiliki keanggotaan sesuai ketentuan itu? 

Dalam UU No 7 tahun 2017 dan turunannya, baik PKPU dan Perbawaslu tidak terlihat adanya sanksi yang lebih dari itu. Sejumlah kalangan memang menaruh harapan adanya tindakan yang lebih karena hak yang diciderai harus mendapat perlindungan. Maka, kedepan perlu ada interpretasi baru untuk menjembantani persoalan itu. Andaipun tidak ada yurisprudensi yang berkesusaian, maka misalnya bisakah memposisikkan Bawaslu sebagai legal standing mewakili pihak masyarakat yang dicatut oleh parpol. Dengan watak hukum yang dinamis, saya kira peluang itu masih terbuka. Apalagi jika disandingkan dengan konstitusi baru hasil amandemen.  Soal munculnya pro kontra di masyarakat, biarlkah itu sebuah keniscayaan yyang tersaji di ruang publik. 

Karena tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik sudah dinodai dengan pencomotan nama anggota palsu selalu terulang setiap periode. Namun belum juga ada perbaikan. Jika selama ini pendekatannya adalah keabsahan, antara sah dan tidak sah. Jikapun terbukti catut NIK, hukumannya sebatas administrasi. Bisa saja parpol itu dikenaik pasal pidana. Namun itu, di luar domain pemilu.

Ada aturan yang bisa menjerat pencurian data pribadi kependudukan dengan KUHP Pasal 263 KUHP ayat 2 bahkan ancamannya bisa enam tahun penjara bagi pihak yang melakukan pemalsuan, yakni pengepul dan pengolah data KTP untuk kepentingan partai politik (parpol) bisa dijerat hukum pidana dan UU Administrasi Kependudukan.

Atau dengan menggunakan UU Administrasi Kependudukan meski sanksinya juga administratif. Namun ini merupakan delik aduan yang harus dilakukan oleh warga yang menjadi korban pencatutan. Bisakah Bawaslu menjadi perwakilan mereka sebagai lembaga yang juga memiliki sisi penegakan hukum?

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu yang demokratis, mestinya ini persoalan serius. Kejahatan siber semisal pencurian data pribadi saja, porsi hukumnya cukup besar. Mestinya parpol pun bisa dijerat dalam kerangka aturan kepemiluan secara inheren. Rakyat yang berdaulat tapi diciderai haknya untuk dan oleh parpol. Padahal prinsip Pemilu yang kita anut adalah Jurdil Luber.

Sejauh ini, Bawaslu baru sebatas menyampaikan imbauan kepada masyarakat agar lebih peduli dengan data pribadi mereka, dengan cara melakukan pengecekan melalui aplikasi Sipol apakah dirinya terdaftar atau tidak sebagai anggota partai politik. Jika terdaftar tanpa sepengetahuannya, maka masyarakat bisa melaporkan hal itu agar namanya dihapus dari daftar anggota partai. Bisakah lebih bertaring?

Penulis: Ismail Fuadi

Penikmat Dinamika Pemilu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: