Martir Minoritas
Catatan DIS'Way Jateng --
Oleh: Dahlan Iskan
INTERNET masih belum normal di Iran. Tapi kondisi umum sudah pulih. Terutama sejak Senin dua hari lalu.
Terganggunya internet itu disengaja. Agar demo tidak mudah meluas. "Kok Anda masih bisa jawab WA saya?" tanya saya pada seorang teman di Tehran. "Saya pakai VPN," jawabnya.
Sejak awal kerusuhan pun ia masih tetap bekerja seperti biasa. Kantor tidak terganggu. "Belanja ke pasar untuk kebutuhan keluarga juga tidak ada yang terganggu," katanya.
Awalnya keadaan di Iran memang seperti sangat gawat. Kesan saya: seperti kerusuhan 1998 di Jakarta. Apalagi informasi yang masuk ke saya sangat serius. "Rezim Iran jatuh Pak," tulis seseorang yang selalu mengamati soal Iran. Ia mengirimkan pandangannya yang tajam itu ke WA saya.
Saya pun memonitor media di Amerika Serikat. Baik yang mainstream maupun yang nyinyir. Kok kondisi gawat itu tidak tecermin di media di Amerika. Demikian juga media di Inggris.
"Memang internet jauh lebih riuh daripada yang saya alami di sini," ujar seorang Indonesia yang ada di sana.
Kelihatannya tiga hal yang membuat kerusuhan itu mampu dikendalikan pemerintah. Sikap Presiden Ebrahim Raisi sangat responsif, para Imam turun tangan langsung dan internet dikendalikan.
Sikap Presiden Raisi sangat jelas: petugas yang menyebabkan kematian harus diusut dan dihukum. Tapi kerusuhan yang menyebabkan terganggunya keamanan juga harus dihentikan.
Kerusuhan pun mereda.
Semua itu bermula dari peristiwa yang Anda sudah tahu: meninggalnya Mahsa Amini. Umur 22 tahun. Tanggal 16 September 2022.
Mahsa meninggal tidak wajar. Di Rumah Sakit Kasra Hospital. Itu salah satu rumah sakit terbesar di pusat kota Tehran. Setidaknya ada 15 rumah sakit besar di pusat ibu kota itu.
Tiga hari sebelumnya Mahsa kena razia polisi moral. Yakni petugas yang sesekali melakukan razia pelanggaran cara berpakaian. Saat terkena razia itu Mahsa tidak pakai kerudung yang sesuai peraturan di sana - -yang berlandaskan Islam versi Iran.
Rasanya Mahsa lagi sial. Di Iran, sepengetahuan saya, aturan kerudung itu tidak terlalu ketat. Tidak seperti di Arab Saudi.
Memang, yang terbanyak, wanita di sana pakai penutup kepala. Tapi bukan jilbab. Kerudung mereka memang menutupi kepala tapi masih memperlihatkan sedikit rambut di bagian depan. Hanya sedikit lebih rapat dari cara Mbak Yenny Wahid berkerudung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: