Kisah Noviana Dibyantari, Ibu 140 Difabel di Semarang Ubah Keterbatasan Jadi Kemandirian

Kisah Noviana Dibyantari, Ibu 140 Difabel di Semarang Ubah Keterbatasan Jadi Kemandirian

Noviana Dibyantari mendampingi penyandang disabilitas di Semarang melalui Roemah Difabel.-Wahyu Sulistiyawan-Wahyu Sulistiyawan

“Disini ada pelatihan, fokusnya ketika mereka sudah lulus SMALB, mereka diajari untuk mandiri dan bisa berdaya,” jelas Novi.

Tahap berikutnya adalah pelatihan etika kerja, agar mereka siap menghadapi dunia profesional—baik bekerja di perusahaan, kantor, maupun membuka usaha sendiri.

“Mereka harus siap dengan segala risiko, misal bekerja di perusahaan atau dengan orang lain, bahkan membuka usaha. Sebelumnya ada pelatihan bagi mereka agar bisa berdaya,” tambahnya.

Perjuangan Novi tidak selalu berjalan mulus. Ada kebanggaan, namun juga duka yang harus dihadapi. Salah satu pencapaian membanggakan adalah ketika seorang anak binaan Roemah Difabel berhasil meraih beasiswa ke Belanda.

BACA JUGA:Difabel Berhak Sehat dan Bahagia, Bupati Kudus : Kami Siapkan Regulasi dan Layanan Lebih Inklusif

BACA JUGA:Perusahaan Asing di Jepara Rekrut Pekerja Difabel, Kado Istimewa di Hari Disabilitas Internasional

Namun di sisi lain, ada tantangan ketika anak-anak yang telah dilatih mandiri kembali ke rumah, tetapi lingkungan keluarga justru memanjakan mereka kembali.

“Sukanya tentu kalau ada yang juara ataupun berprestasi akan menjadi kebanggaan. Tapi dukanya ada yang kurang mandiri, misal keluar kerja karena tidak terbiasa bekerja dengan orang lain,” ungkapnya.

Tak jarang, perbedaan pandangan dengan orang tua menjadi kendala dalam proses kemandirian yang telah dibangun.

“Ada pula orang tua yang kurang sepakat kemandirian yang kita ajarkan, sehingga di rumah tidak dikerjakan lagi,” lanjut Novi.

Roemah Difabel Semarang tidak membatasi jenis disabilitas yang diterima. Mulai dari disabilitas mental, intelektual, down syndrome, sensorik netra, tuli, hingga ragam keterbatasan lainnya dirangkul tanpa diskriminasi.

Lebih dari itu, tempat ini juga menjadi rumah aman bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban bullying dan kekerasan seksual berbasis gender.

“Kita rangkul semua, termasuk yang menjadi korban bullying dan kekerasan seksual. Disini bisa menjadi tempat aman, mereka bisa belajar, bergaul dan diawasi selama 24 jam, sebelum kasusnya diproses,” pungkasnya.

Apa yang dilakukan Noviana Dibyantari bukan sekadar aktivitas sosial, melainkan gerakan kemanusiaan yang lahir dari kasih dan konsistensi. Di tengah keterbatasan, ia membuktikan bahwa pendampingan yang tepat mampu mengubah nasib dan masa depan penyandang disabilitas.

Roemah Difabel Semarang kini menjadi simbol harapan bahwa setiap manusia, apa pun kondisinya, berhak mendapat kesempatan untuk hidup mandiri, dihargai, dan bermartabat.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: