Eka dari Lampung Terpesona Nyadran Kali Kandri Semarang: Guyub, Sakral, dan Penuh Makna
Prosesi pengambilan air sendang dilakukan pada tradisi Kirab Budaya Nyadran Kali Kandri Semarang, Minggu 7 Desember 2025.-wayu sulistiyawan-Wahyu Sulistiyawan
“Prosesi Nyadran ini sudah digelar sejak tahun 2012. Artinya sudah 12–13 tahun kami pertahankan sebagai tradisi budaya dan wujud syukur warga Kandri kepada alam,” ujar Ketua RW 1 Kandri, Mas’udi.
Nyadran Kali dimulai dari Sendang Kalikidul, kemudian berarak menuju Sendang Gede. Para ibu membawa nasi tumpeng kecil yang dibungkus daun pisang, sementara perangkat adat menyiapkan tiga benda sakral: gong, kepala kerbau, dan jadah (jajahan dari ketan).
Tiga benda ini, kata Mas’udi, menyimpan legenda dan filosofi mendalam.
“Dulu dipercaya bahwa mata air Sendang Gede tidak akan bisa ditutup selama tiga benda itu tidak dihadirkan. Benda-benda ini menjadi simbol penjaga sumber air," ujarnya.
Legenda itu terus mengalir dari generasi ke generasi, menjadi pengingat bahwa air bukan hanya sumber hidup, tetapi juga amanah yang harus dijaga.
Mas’udi menjelaskan, ketiga benda yang selalu ada dalam Nyadran bukan sekadar perlengkapan ritual.
Kepala Kerbau simbul yang untuk membuang “Kebodohan”. Dalam budaya Jawa, kebo sering dihubungkan dengan dumbness atau kebodohan.
“Maknanya, warga RW 1 harus memendam kebodohan. Kita diajak menjadi masyarakat yang pandai dan terbuka.”
Gong, merupakan suara yang Menggema ke Segala Penjuru dan sebagai penutup dalam rangkaian musik gamelan.
“Gong itu penanda. Bunyi gong biar menggema ke manca desa, agar orang tahu bahwa di Kandri ada sumber mata air yang harus dijaga," terang Mas'udi.
Jadah, merupakan jajanan yang lengket, sebagai simbol perekat warga “Filosofinya adalah merekatkan warga. Seperti ketan yang lengket, kami ingin warga tetap guyub, tidak renggang, dan saling gotong royong," katanya.
Salah satu bagian paling menarik dari prosesi adalah tarian Tirta Suti yang dibawakan sembilan pasang penari muda.
“Sembilan putra dan sembilan putri itu bukan kebetulan. Mereka adalah simbol generasi penerus yang harus dilibatkan, dibina, serta dipersiapkan menjadi anak shaleh dan shalehah," terang Mas'udi.
Mas’udi menekankan bahwa tradisi ini bukan hanya ritual budaya, tetapi juga proses pendidikan karakter.
“Kita ingin mereka ‘ngaji dengan alam’, bukan hanya ngaji syariat. Mereka belajar bahwa manusia wajib menjaga ciptaan Tuhan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
