Mengurai Sampah di Wonosobo: Saatnya Beralih dari Masalah ke Momentum
Dian Sasono Jati--
Wonosobo telah memulai proyek pilot Refuse Derived Fuel (RDF) bekerja sama dengan industri semen. RDF mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Namun, hingga kini, pasokan sampah terpilah yang menjadi bahan baku RDF belum mencukupi. Akibatnya, program tersebut belum bisa berjalan optimal seperti yang diharapkan.
Masalah-masalah tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya persoalan teknis, tapi juga persoalan tata kelola dan budaya.
Belajar dari akar masalah, Sampah di Wonosobo sebenarnya mencerminkan pola yang umum terjadi di banyak daerah di Indonesia: program berjalan, tetapi tidak terintegrasi.
BACA JUGA: Bupati Pemalang Apresiasi Petugas Sampah dan Penyapu DLH
BACA JUGA: Overkapasitas, Gunungan Sampah di TPAS Kaliwlingi Longsor
Misalnya, satu desa memiliki bank sampah aktif, tetapi tidak memiliki sistem transportasi untuk mengangkut hasil pilahan ke PDU. Di sisi lain, industri daur ulang lokal kekurangan pasokan bahan baku.
Selain itu, dukungan data dan pemantauan masih minim. Tidak ada sistem informasi publik yang menampilkan seberapa banyak sampah diolah, didaur ulang, atau dikonversi menjadi RDF.
Tanpa data, sulit mengukur efektivitas kebijakan, apalagi merancang insentif berbasis kinerja. Kondisi ini menunjukkan perlunya pergeseran paradigma dari “angkut dan buang” menjadi “pilah, olah, dan manfaatkan”.
Dari End Of Pipe ke Cricular Economy
Solusi terhadap masalah sampah di Wonosobo tidak bisa hanya fokus pada tahap akhir (TPA). Kita perlu beralih ke sistem yang menempatkan sampah sebagai sumber daya ekonomi baru bagian dari ekonomi sirkular (circular economy). Beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
BACA JUGA: Overkapasitas, Gunungan Sampah di TPAS Kaliwlingi Longsor
BACA JUGA: Murid TK di Kota Tegal Diberi Edukasi Manfaat Sampah
1. Memperkuat Pengelolaan Sampah Berbasis Komunitas
Pemerintah daerah bisa memberikan insentif berbasis kinerja lingkungan kepada desa atau kelurahan. Misalnya, desa yang mampu mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan volume daur ulang mendapatkan tambahan dana insentif.
2. Menjamin Keberlanjutan Ekonomi dari Program RDF
RDF tidak boleh berhenti di tataran proyek percontohan. Perlu ada kontrak jangka panjang dengan industri pengguna (seperti pabrik semen) yang menetapkan standar mutu dan harga RDF secara transparan. Dengan begitu, program RDF menjadi rantai ekonomi nyata, bukan sekadar proyek simbolik.
3. Mengembangkan Sistem Data dan Transparansi Publik
DLH perlu membangun dashboard digital sampah kabupaten yang menampilkan data real time tentang volume sampah, lokasi TPS-3R, dan capaian pengurangan. Transparansi semacam ini akan mendorong akuntabilitas dan persaingan positif antarwilayah.
4. Mendorong Pendidikan Lingkungan Sejak Dini
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
