
Setiap sekolah diberi kuota 32 siswa per rombel, dan seleksi dilakukan dengan sistem digital yang transparan.
Kepala SMPN 13, Yeti Eka Erawati, mengungkapkan bahwa sekolahnya selalu menjadi favorit masyarakat karena mutu dan kepercayaan publik yang terus meningkat.
“Baru dua hari dibuka, kuota 192 siswa sudah langsung penuh,” ujar Yeti.
Ia menjelaskan pendaftar didominasi jalur domisili sebanyak 40 persen, prestasi 35 persen, afirmasi 20 persen, dan mutasi 5 persen.
Antusiasme masyarakat dinilai luar biasa, bahkan banyak orang tua yang sudah mengunggah dokumen sejak jam pertama sistem dibuka.
Menurut Yeti, kecepatan dan keakuratan sistem menjadi kunci kepercayaan publik.
“Sistem ini membantu kami menjalankan proses secara objektif. Tidak ada campur tangan dari siapa pun, termasuk pihak luar,” jelasnya.
Keberhasilan sistem digital dalam SPMB ini seolah menandai babak baru pendidikan di Kota Pekalongan.
Tak ada lagi cerita ‘anak pejabat’ atau ‘anak teman dewan’ yang bisa menyisip masuk tanpa jalur resmi.
Seluruh proses seleksi kini berada di tangan sistem yang tak bisa disogok, tak bisa dinegosiasi.
Aaf menegaskan, pihaknya akan terus memantau pelaksanaan hingga tahap akhir, demi memastikan keadilan dan keterbukaan bagi seluruh calon peserta didik.
“Ini soal masa depan anak-anak kita. Harus transparan dan tidak boleh ada celah manipulasi,” pungkasnya.