Aunil merupakan generasi ke 3 pembuat kue ganjel rel dalam keluarganya, dan dipercaya Masjid Agung Semarang untuk memproduksi setiap tahunnya untuk dibagikan pada 1 atau 2 hari sebelum Ramadan.
Ia menceritakan pada 2009 kue ganjel rel tersebut hampir punah, dan sudah tidak banyak yang mengetahuinya.
"Kue ganjel rel ini dulunya sudah hampir punah, saya hanya memproduksi 500 potong, mungkin karena terbuat dari gaplek yang rasanya keras," jelasnya.
Pada 2019, ia melakukan inovasi yang semula terbuat dari gaplek, kini lebih memperbanyak telur, sehingga tidak merubah kepadatan kue dan lebih empuk.
"Sebelumnya sudah dilakukan kurasi langsung dari pihak takmir masjid, orang kauman asli dan orang yang paham persis kue ganjel rel, sehingga tercipta kue yang padat namun empuk seperti sekarang, dan saat itu kami bisa produksi 8000 hingga 10.000 potong," bebernya.
Covid-19 melanda, Aunil terpaksa tidak memproduksi selama 2 tahun, dan kembali pada 2023 dengan pesanan 4000 potong, dan 2024 hingga 6000 potong.
"Pada 2023 kemarin hanya membuat sedikit, ternyata warga sudah mulai mengenal kembali dan merasa kurang sehingga 2024 ditambah lebih banyak hingga 4000 potong," ujarnya.
Jajanan khas Semarang yang dibuat dari berbagai rempah-rempah ini memiliki banyak filosofi. Kue tersebut dibuat dari beberapa rempah seperti jahe, kembang lawang, cengkeh dan kayu manis.
"Kue ganjel rel ini merupakan padanan dari kue Ontbijtkoek dari Belanda yang tidak semua orang, karena Semarang memiliki aneka rempah kenapa kita tidak membuat kue serupa namun dengan bahan gaplek dan toping biji wijen," katanya.
Dalam filosofinya, penamaan ganjel rel memiliki pengertian sendiri, Ganjel (bantalan) arti melepas semua beban sebelum memasuki puasa, Rel yang diambil dari kata "rela", yang artinya rela menjalankan ibadah puasa.
"Kalau dari bentuk dan warna coklat diambil dari bentuk kayu yang digunakan sebagai bantalan rel kereta api, sedangkan persegi panjang mengandung arti ada pemberangkatan dan berhenti, jadi berpuasa dari awal hingga akhir," ujarnya