SLAWI (Disway Jateng) – Permasalah ekonomi mengakibatkan angka perceraian tinggi. Terbukti, sejak awal Januari 2022 hingga sekarang jumlah wanita yang berstatus janda di Kabupaten Tegal sebanyak 2.182 orang.
Kepala Kantor Pengadilan Agama Slawi Kabupaten Tegal Abdul Basyir mengungkapkan untuk kasus perceraian talak di wilayahnya sebanyak 460 kasus dan cerai gugat 1.722 kasus. ”Sehingga totalnya (janda, red) sebanyak 2.182 orang,” kata Abdul Basyir, usai penandatanganan dokumen perjanjian rencana kerja antara Pengadilan Agama Slawi dengan Pemkab Tegal, baru-baru ini. Selain itu, pihaknya juga membeberkan soal pengajuan dispensasi kawin untuk anak di bawah umur. Dimana sejak awal tahun 2022 hingga Kamis (14/7) lalu, kasus itu sudah mencapai 148 orang. Jika ditambah dengan perkara lainnya, Kantor Pengadilan Agama Slawi pada tahun ini sudah menangani perkara sebanyak 2.385 kasus. Karena itu, melalui kerja sama dengan Pemkab Tegal ini, diharapkan kasus perkawinan anak di bawah umur di wilayahnya bisa ditekan. Terlebih, meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi selama pandemi Covid-19 menjadi persoalan tersendiri. Dimana hal itu sangat mempengaruhi meningkatnya permintaan dispensasi kawin anak di bawah umur. ”Biasanya masalah ekonomi yang mengakibatkan angka perceraian tinggi,” ucapnya. Sementara itu, Bupati Tegal Umi Azizah mengatakan, untuk mengendalikan perkawinan anak di bawah umur ini bukan perkara mudah. Harus ada ikhtiar serius dari pemerintah dalam mengagendakan langkah-langkah strategis pencegahan kawin anak dari hulu ke hilir. Di hulu, upaya pemerintah dalam mencegah perkawinan anak telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan merevisi usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Umi pun mengingatkan, perkawinan anak sangat berdampak. Mulai dari pendidikan yang terhenti, kesehatan reproduksi yang terganggu karena risiko kematian ibu dan bayinya meningkat, termasuk balita stunting. Dampak lainnya yakni persoalan ekonomi akibat upah murah dari tenaga kerja berpendidikan rendah. Kondisi tersebut, menurut dia, akan memengaruhi indeks pembangunan manusia dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. ”Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan tingkat pertama memiliki peran penting di sektor hilir dalam memutuskan perkara perkawinan anak, dari soal perizinan, dispensasi kawin, pencegahan perkawinan maupun penolakan perkawinan,” kata Umi.Meski demikian, regulasi saja tidak cukup untuk mengendalikan perkawinan anak. Teratasinya problem kemiskinan dan tersedianya informasi yang memadai tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja bisa menjadi solusi pencegahan di sektor hulu. Selain adanya penguatan dari sisi pemahaman agama yang baik untuk mencegah perkawinan anak akibat hamil di luar nikah. ”Saya memandang perkawinan anak ini lebih membutuhkan solusi lain di luar sektor hukum, dan ini memerlukan upaya bersama semua pihak,” urainya.