Turun Empat Generasi, Praoe Lajar Konsisten Produksi Rokok Legal dan Murah

Turun Empat Generasi, Praoe Lajar Konsisten Produksi Rokok Legal dan Murah

Pekerja melinting rokok di pabrik Praoe Lajar jalan Merak, Kota Semarang. Praoe Lajar merupakan rokok lokal Semarang yang dipasarkan di area pantura. --Wahyu sulistiyawan

SEMARANG, diswayjateng.id- Pabrik Rokok Praoe Lajar (Prau Layar), mungkin tidak asing bagi kalangan warga Semarang atau wisatawan saat berkunjung di jalan Merak, Kawasan Kota Lama,Semarang. Bangunan bekas perusahaan Hindia Belanda Maintz & Co yang berada didepan Stasiun Semarang Tawang Bank Jateng ini masih konsisten memproduksi rokok kretek lokal yang legal dan harga yang sangat terjangkau.

Ditangan Thio No Moi, Praoe Lajar berdiri sejak 5 Mei 1945 di Kampung Kledung. Sempat berpindah tempat ke Jalan Pusponjolo dan pada 7 Mei 1952 menempati bekas perusahaan Maintz & Co, hingga saat ini masih "selamat" dari gempur rokok-rokok nasional, bahkan internasional dan saat ini sudah turun ke generasi ke empat yang dipegang oleh Aditya Wibowo Setia Budhi (24).

Manajer Operasional Praoe Lajar, Aditya Wibowo Setia Budhi mengatakan, meskipun Praoe Lajar merupakan pabrik kecil, tetap konsisten menjaga kelegalan produknya dengan memberikan cukai rokok pada setiap produknya. Produk rokok ilegal dinilai dapat memberatkan negara dan merugikan perusahaan rokok legal. 

Kalau rokok ilegal itu bisa memberatkan negara, dan perusahaan legal juga terkena dampaknya. Bahan baku yang dipakai saya tahu, jadi itu benar-benar memberatkan negara,” tegas Aditya. Rabu, 9 Oktober 2024. 

BACA JUGA: Sita Rokok Ilegal, Bea Cukai Jateng-DIY Selamatkan Pendapatan Negara Hingga Rp83 Miliar

BACA JUGA: Kejari Sragen Bakar 264 Ribu Batang Rokok Ilegal, Termasuk BB Kasus Narkoba

Meskipun menggunakan rokok, dua merek asal Semarang Praoe Lajar dan Potong Padi ini dijual dengan harga yang relatif terjangkau berkisar Rp6.000 hingga Rp8.000 per bungkus dengan isi 10 batang rokok. Rokok tersebut dipasarkan di daerah pedesaan di jalur Pantai Utara (Pantura) seperti Brebes, Tegal dan Pekalongan dengan menyasar segmen petani dan nelayan. 

“Kita menyasar memang di desa pinggiran sepanjang pantura Jateng, karena kalau mainnya di perkotaan sudah kalah sama merek rokok yang sudah memiliki nama besar,” ujarnya. 

 Pabrik yang mempekerjakaan sebanyak 300 karyawan ini selalu menjaga kualitas dengan menggunakan tembakau asli Jawa, seperti dari Madura, Temanggung, Weleri-Kendal dan Mranggen-Demak. Dalam mengolah rokok tersebut tanpa menggunakan saos kimia, melainkan rempah-rempah dan herbal seperti Kemukus, bunga lawang, kayu manis, cengkeh, tembakau srintil.

“Karena kita tidak menggunakan saos, jadi harus teliti dalam pemilihan tembakau. Setiap tembakau yang datang haru dicoba satu per satu untuk mengetahui kualitas tembakau tersebut, kalau menggunakan saos semua tembakau bisa digunakan,” jelasnya.

“Tembakau yang baru datang juga tidak bisa digunakan langsung, harus menunggu setelah 2 hingga 3 tahun lagi baru bisa digunakan menjadi rokok,”tambahnya.

Ia menjelaskan, cuaca, angin, tekstur tanah dan pupuk menjadi faktor tembakau akan berubah rasa dan karakternya. Jadi setiap tahun harus belajar mengenali jenis tembakau. “Tidak ada ilmu baku dalam mempelajari jenis tembakau, karena setiap tahun tembakau akan berubah rasa dan karakternya,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: