Telaah Kritis Hari Jadi Tegal

Telaah Kritis Hari Jadi Tegal

Prof Dr Purwo Susongko MPd: Pengamat Budaya dan Pelestari Kawruh jawa Purwa--

Secara ringkas, studi Ricklefs melukiskan dinamika masyarakat Jawa sekitar keraton dan interaksinya dengan kekuatan asing (Barat) yang muncul kemudian Interelasinya mencakup perang atau militer dan politik, ekonomi, budaya, sastra  serta agama. Aspek agama (Islam) bahkan ditunjukkan sebagai upaya orang Jawa untuk menemukan identitasnya di tengah himpitan kekuasaan asing–yakni VOC. 

Mengkaji sejarah Tegal sungguh suatu hal yang sangat sulit dilakukan mengingat belum ada data yang dapat dipandang sebagai suatu sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tegal sebagai suatu wilayah justru baru dikenal di panggung sejarah karena ada nama Tegalarum , sebuah tempat dimakamkanya Sunan Amangkurat Agung, putra Sultan Agung yang terjadi tahun 1677. Sebelum peristiwa tersebut memang Sejarawan belanda De Graaf mengungkap seorang Tumenggung dari Mataram yang sangat pandai berdiplomasi dengan VOC yang bernama Tumenggung Tegal, namun demikian juga belum dapat dipastikan apakah Tumenggung Tegal tersebut adalah Bupati yang menguasai Tegal ataukah sekedar nama saja karena tidak semua Tumenggung menjadi Bupati atau penguasa disuatu Wilayah.

Di masa Sunan Amangkurat Agung, De Graaf menjelaskan Bupati Tegal bernama Martoloyo yang diangkat oleh Sultan Agung menjadi Bupati Tegal tahun 1636. Nama Martoloyo memang sangat legendaris dan sumber-sumber di Belanda juga menyebut Martoloyo sebagai tokoh sentral dan berperanan penting ketika Sultan Agung melakukan penyerangan ke Batavia. 

De Graaf  dalam runtuhnya istana Mataram mencatat  bahwa nama penguasa Tegal setelah Tumenggung Tegal diketahui bernama Wira Suta. Kemudian nama itu berganti menjadi Harya Martalaya setelah diketahui kesetiaannya kepada raja. Sedangkan pengangkatanya sebagai adipati Tegal oleh De Graaf disebutkan tahun 1636 bersamaan dengan acara Grebeg Mulud (hal 140 dan 165).

Babad Tanah Jawi (sumber sekunder) menyebutkan bahwa ketika sunan Amangkurat Agung berada di Banyumas, telah menyebut Adipati Tegal dengan nama Adipati Martalaya. Tentunya Martalaya disini bukanlah RM Kaniten Atau RM Martalaya putra Panembahan Senopati dari Ibu RA Retno Dumilah karena RM Martalaya menjadi Bupati Madiun (Dr Purwadi, 2004). Tentang wilayah kekuasaan , sebagaimana kekuasaan Tumenggung Tegal, Kekuasaan Adipati Martalaya juga meliputi Tegal, Pemalang dan Brebes sampai Losari dengan pusat pemerintahannya di Tegal ( Kota Tegal sekarang).

Pada pemerintahanya , banyak pula kapal-kapal asing yang singgah di Tegal, dan diketahui pula ada kapal milik orang-orang pendukung Trunojoyo dengan maksud untuk menaklukan daerah itu. Namun Wira Suta tetap setia kepada Susuhunan (Surat Cornelis Speelman, 9 Januari 1677).

Sepeninggal Bupati Martalaya, Bupati Tegal berturut turut adalah Raden Harya Sindureja dan selanjutnya diperintah oleh Wangsa  Reksonegaran. Sejarah hingga kini belum dapat memastikan apakah ada hubungan darah antara Bupati Sindurejo dengan Bupati Martalaya demikian pula antara Wangsa Reksonegaran dengan nama Ki Gede Sebayu , suatu nama yang tidak pernah dikenal dalam babad selain cerita di Danawarih dan Kalisoka.

Cerita-cerita di Tegal menyebutkan Wangsa Reksonegaran adalah keturunan ki Gde Sebayu dari  Hanggawana. Semua bupati dari reksonegaran bergelar Raden Mas ini mengindikasikan keluarga reksonegaran berasal dari trah raja yang kemudian diberi jabatan Bupati Tegal. Makam mereka pun berada bersama dengan astana dalem Kanjeng sunan Amangkurat Agung sebagai leluhurnya di Tegalarum. Berkaitan dengan Nama Ki Gede Sebayu sebagai pendiri Tegal/Bupati Tegal pertama, maka kami memberikan tangggapan sebagai berikut:

BACA JUGA:5 Daya Tarik Masjid Agung Demak; Wisata Sejarah dan Religi di Jawa Tengah

1.Nama Ki Gede Sebayu dan seluruh silsilahnya adalah hasil cerita-cerita /catatan di Tegal yang kemudian di tulis oleh beberapa penulis seperti Ki Soemarno, 2003; Raden Suputra , 1959; Ki Ahmad Mangun Harsono. Bahkan di Kalisoka sebagai sumber cerita tersebut mempunyai versi yang berbeda dari yang dianut oleh Pemkab/Pemkot Tegal. Menurut Juru kunci Makam Hanggawana (Pak Mudi) justru Ki Gede Sebayu adalah tenaga ahli/tukang yang didatangkan Hanggawana/penguasa Kalisoka bukan Tegal, sebagai ahli kemasan dan Ki Gde Sebayu tidak mempunyai keturunan, sangat kontras dengan versi Pemkab/Pemkot dimana Hanggawana Justru anak dari Ki Gde Sebayu. Selanjutnya cerita-cerita Ki Gde Sebayu dan Hanggawana adalah cerita lokal Kalisoka ketika Kalisoka masih berupa kota pesisir sehingga sejarah juga belum dapat mengungkap tahun berapa Kalisoka merupakan pelabuhan.  

2.Dalam Naskah Hari jadi Kab Tegal, tokoh  Ki Gde Sebayu pun masih belum diketahui asal usulnya dengan jelas. Dalam naskah dijelaskan nama sebayu dimungkinkan berasal dari kata Sedayu yaitu tempat Pangeran Benawa dan pengikutnya melakukan perjalanan spritual dari Pajang dan Ki Gde Sebayu dianggap salah satu pengikutnya. Bisa juga Ki Gde Sebayu mempunyai urutan leluhur dengan Batara Kathong putra Raja Majapahit sesuai dengan catatan Tegal. Diangkatnya Ki Gde Sebayu  sebagai juru Demung oleh pangeran Benawa (Benawa yang mana?) hingga diangkatnya menjadi Adipati Tegal beserta penanggalanya,  semuanya bersumber dari catatan Tegal .

3.Dalam tradisi era awal mataram, Ki Ageng atau Ki Gede adalah gelar pemimpin pada zaman dahulu, yang biasanya digunakan oleh tokoh pendiri suatu daerah tertentu (Moedjanto , 1987) atau tokoh dengan kesaktian (De Graaf, 1985).  Sebutan "Ki" adalah sebutan untuk seorang lelaki pada umumnya, sedangkan tambahan "Ageng" atau "Gede" ('besar') adalah penanda bahwa tokoh tersebut benar-benar pemimpin pada suatu daerah tertentu. 

Sebagai contoh, para leluhur pendahulu wangsa Mataram sebelum Panembahan Senopati memakai gelar Ki Ageng tersebut . Sedangkan contoh tokoh sakti dalam cerita rakyat yang memakai gelar ini misalnya ialah tokoh Ki Gede Sela, yang diceritakan mampu dapat menangkap kilat dengan tangannya. 

Berikut daftar artikel tentang tokoh-tokoh nyata atau legenda yang bergelar Ki Ageng/Ki Gede (untuk pria) serta Nyai Ageng/Nyi Ageng (untuk wanita), sbb.:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: