Diskusi GTP Pemuda Katolik, Theo Litaay: UU Otsus Papua Berpihak dan Berdayakan Orang Asli Papua

Diskusi GTP Pemuda Katolik, Theo Litaay:  UU Otsus Papua Berpihak dan Berdayakan Orang Asli Papua

Tenaga Ahli Utama KSP Theo Litaay --

 

JAKARTA (DiswayJateng) – Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay menjelaskan bahwa UU Nomor 21 Tahun 2001 atau telah direvisi menjadi UU Nomor 2 Tahun 2021 menjadi pedoman dalam kerangka Otonomi Khusus (Otsus).

“Kalau kita lihat pada UU Otsus ini kita bisa bisa memaknai filosofinya ada pada perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua (OAP),” ungkap Theofransus Litaay dalam diskusi  “Mengupas Landasan Filosofi Pembentukan Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) dan Mekanisme Penganggaran”, yang digelar Departemen Gugus Tugas Papua (GTP) Pengurus Pusat Pemuda Katolik, pekan lalu.

Diskusi menghadirkan tiga orang narasumber yang memiliki kompetensi dan pemahaman serta terlibat langsung selama ini dalam pengawasan dan pelaksanaan UU Otsus Papua tersebut.

Ketiga narasumber yang diundang memberikan ceramah, yakni Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay, SH., LLM., Ph.D, Anggota DPD RI Perwakilan Papua Barat, Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum dan Kepala Sub Bagian (Kasubid) Pemerintahan dan Otonomi Khusus Bappeda Provinsi Papua, Eddy Way, S.Sos.

Theo Litaay yang adalah pakar hukum otonomi khusus ini, berharap UU Otsus yang telah direvisi menjadi efektif dalam menampung hak-hak masyarakat Papua secara lebih proporsional.

“Diharapkan menjadi instrumen atau alat untuk menjawab berbagai persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat kita di Papua. Karena kita harus menjawab masalah kemiskinan, keterbelakangan, kemudian masalah sosial dan masalah ekonomi yang kemudian memicu terjadinya persoalan-persoalan baru,” tegas Litaay, dalam siaran pers, Jumat (17/2/2023).

Theofansus Litaay mengakui bahwa ini menjadi tantangan bagi semuanya untuk mencari solusi-solusi dalam menjawab persoalan-persoalan yang ada di Papua, khususnya sebagai pemuda dan mahasiswa dalam mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, sehingga nantinya kedepan kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat bisa ikut menghidupkan kegiatan-kegiatan di tengah-tengah masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang ada di Papua.

Senada dengan itu, Anggota DPD RI Perwakilan Papua Barat, Filep Wamafma menyebutkan, saat ini pembicaraan Otsus lebih kepada konsep politik.

“Semua orang di Papua yang disebut dengan pro dan kontra atau ada orang yang setuju dan tidak setuju Otsus. Yang setuju adalah orang yang ada di dalam pemerintah dan yang tidak setuju adalah orang yang sangat konsisten dengan idealisme dan ideologi. Orang yang tidak percaya dengan eksistensi Otsus itu sendiri. Inilah yang membuat saya coba melihat Otsus dalam konteks filsafat,’ ujar Senator DPD RI ini.

Filep Wamafma menjelaskan, dalam melihat filsafat Otsus sebenarnya dirinya mau melihat apakah dalam UU Otsus adalah kebijaksanaan yang tepat untuk Papua? Apakah UU Otsus dapat mewujudkan perlindungan pada orang Papua? Apakah UU Otsus mampu memberikan kewenangan kepada pemerintah dan rakyat untuk mengatur rumah tanggannya sendiri? Ini merupakan pertanyaan yang bisa diteliti kedepannya.

“Filsafat ini hanya menemukan pertanyaan. Selanjutnya kita meneliti dan mencari kebenaran. Ini sebenarnya pertanyaan yang bisa dicari tahu oleh mahasiswa, bahkan bisa menjadi skripsi,” jelas Wamafma.

Menurut Wamafma, dalam konteks UU Otsus sebenarnya jika dilihat dari konsep dasar otonomi sebenarnya ada aturan yang mengatur diri sendiri, rumah tangga sendiri dan kewenangan sendiri yang ada dalam UU Otsus. Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah UU Otsus sudah mengakomodir semua aspek yang ada di Papua? Apakah UU Otsus sudah memproteksi hak-hak orang Papua.

“Inilah yang harus teman-teman cari dan temukan dalam UU Otsus. Saya sering bilang kita bicara Otsus bukan soal isi UU, tetapi mari kita bedah undang-undangnya. Saya pikir diskusi ini merupakan salah satu bagian untuk kita melihat UU Otsus ini,” ujarnya Filep.

“Kita bisa lihat apakah UU Otsus ini sudah ada yang khusus atau tidak. Kalau sudah khusus apa yang khusus? Dan kalau tidak khusus apa yang tidak khusus. Kita harus cari dalam penelitian untuk melihat UU Otsus di Papua,” ucapnya.

Mengenai otonomi manusia atau otonomi sekelompok masyarakat, kata Filep, UU Otsus sebenarnya mengatur manusia. Siapa manusianya? Ada manusia universal, kelompok dan manusia secara personal (individu).

Manusia secara person (individu) adalah orang asli Papua (OAP). Manusia secara kelompok, suku dan bangsa adalah masyarakat komunal. Sekarang timbul pertanyaan apakah UU Otsus telah melindungi orang asli Papua? Apakah UU Otsus sudah mengakui hak-hak masyarakat adat di Papua? Silahkan diteliti.

“Untuk mencari kebenaran ini harus kita teliti dan tidak bisa kita sebatas wacana atau opini. Kita harus meneliti kebenaran-kebenaran ini. Filsafat memberikan ruang untuk kita meneliti tentang kebenaran-kebenaran. Mencari kebenaran, mencari kebenaran dan mencari kebenaran,” ujarnya.

Kepala Sub Bagian (Kasubid) Pemerintahan dan Otonomi Khusus Bappeda Provinsi Papua, Eddy Way mengungkapkan bahwa sebagai penyelenggaraan pemerintah, maka tugasnya adalah mencari tahu suasana kebatinan yang tersembunyi yang perlu direspons oleh penyelenggara pemerintah.

Dalam aspek kebijakan, kata Eddy Way dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus dalam arti kesederhanaan adalah memotret keadaan, melihat keadaan. Dalam maksud keadaan yang tidak senang telah terbaca dalam konsideransnya seperti misalnya melindungi dan menunjung tinggi harkat dan martabat.

“Dimana mengangkat harkat dan martabat, afirmasi dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya dengan kepastian hukum, percepatan kesejahteraan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesinambungan keberlanjutan pembangunan,” kata Way.

Dalam konteks pemerintah, menurut Eddy Way apa yang ada di dalam konsedirans UU Otsus harus masuk dalam logika framing dalam menyusun semua dokumen perencanaan, sehingga ketika membicarakan dukungan perencanaan pembangunan yang disingkronkan dengan anggaran, maka akan menjadi hubungan timbal balik yang saling bertemu.

“Dalam sehari-hari sebagai Bappeda apa yang disebutkan dalam konsiderans, maka akan membentuk semacam logika framing untuk kemudian antar dalam dokumen RPJMD untuk 5 tahun, 20 tahun dan ada juga tahunan. Ini supaya mengukur apakah kita konsisten atau bias dari apa yang ada dalam konsideran yang diterjemahkan dalam rangkaian regulasi dan impelementasi,” tutur Way.

Sementara itu, Ketua Departemen Gugus Tugas Papua PP Pemuda Katolik, Melkior Sitokdana mengungkapkan bahwa pro dan kontra terhadap UU Otsus Papua telah berakhir, sehingga melalui diskusi ini bagaimana melihat peluang yang ada dengan adanya revisi UU Otsus dan pemekaran provinsi di Papua dapat meningkatkan kesejahteraan asli Papua.

“Kami sampaikan terima kasih semua narasumber dan semua peserta yang hadir. Semoga melalui diskusi ini kita bisa memberikan rekomendasi untuk pelaksanaan implementasi UU Otsus di Papua,’ tandasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: