24 Bahasa Daerah Terancam Punah, 5 Kritis

Rabu 03-09-2025,12:00 WIB
Reporter : K Anam Syahmadani
Editor : Rochman Gunawan

TEGAL, diswayjateng.id  — Republik Indonesia yang baru saja memperingati Hari Kemerdekaan ke-80 diam-diam menghadapi sebuah ancaman serius. Yaitu, punahnya bahasa-bahasa daerah. Fakta ini terungkap dalam kegiatan bertajuk Diseminasi Produk Pengembangan Kebahasaan dan Kesastraan yang diselenggarakan di Sebayu Convention Hall Bahari Inn Hotel, Jalan Dr Wahidin Sudiro Husodo Kota Tegal.

Acara dihadiri Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Dora Amalia, Kepala Kepala Bidang Fasilitasi dan Advokasi Bahasa dan Sastra Adi Budiwiyanto, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Dwi Laeli Sukmawati, budayawan Maufur dan Atmo Tan Sidik, serta diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan.

Ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah bukan isapan jempol, semakin hari bahkan semakin kuat. Survei Statistik Kebahasaan dan Kesastraan 2021 mencatat 11 bahasa daerah telah punah karena sudah tidak ada lagi penuturnya. Yaitu seperti Bahasa Tandia dari wilayah Papua Barat, Mawes (Papua), Kajeli, Piru, Moskela, Palumata, Hukumina, Hoti, Serua, dan Nila (Maluku), serta Ternateno (Maluku Utara).

Sementara 24 bahasa daerah lain menyusul terancam punah. Itu disebabkan semua penuturnya berusia 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. Yaitu, Bahasa Hulung, Samsasuru, Bobat (Maluku), Mander, Namla, Usku, Maklew, Bku, Mansim Borai, Dubu, Irarutu, Podena (Papua), Ponosokan, Sangihe Talaud (Sulawesi Utara).

Kemudian Bahasa Konjo (Sulawesi Selatan), Bajau Tungkal Satu (Jambi), Lematang (Sumatera Selatan), Minahasa, Gorontalo Dialek Suwawa (Gorontalo), Nedebang, Adang (Nusa Tenggara Timur), Benggaulu (Sulawesi Barat), Arguni, Kalabra (Papua Barat). Sedangkan 5 bahasa daerah kritis karena penuturnya 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Meliputi, Bahasa Reta (Nusa Tenggara Timur), Saponi (Papua), Ibo, Meher, Letti (Maluku). 

Sementara 3 bahasa daerah mengalami kemunduran karena sebagian penutur anak-anak dan kaum tua dan sebagian anak-anak lain tidak menggunakan, yaitu Bahasa Hitu, Kayeli (Maluku), dan Tobati (Papua). 19 bahasa daerah stabil, semua anak-anak dan kaum tua menggunakan tetapi jumlah penutur sedikit. Yaitu, Buru, Lisabata, Luhu (Maluku), Meoswar, Kuri, Aframa, Gresi, Ormu, Somu (Papua).

Mandar, Minahasa (Sulawesi), Kerinci (Sumatera), Senggi (Papua), Pamona (Sulawesi Tengah), Rongga (Nusa Tenggara Timur), Wolio (Sulawesi Tengah), Ormu, Senggi (Papua), dan Mansim Borai (Papua Barat).

Sedangkan 25 bahasa daerah lainnya aman, karena masih dipakai oleh semua anak dan semua orang dalam etnik itu. Yaitu Bahasa Aceh (Aceh), Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Sunda (Jawa Barat), Madura (Jawa Timur), Bali (Bali), Melayu (Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau), Minangkabau (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu).

Sentani, Awban, Korowai, Tokuni, Biak (Papua), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Bugis (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Makkasar (Sulawesi Selatan), Muna (Sulawesi Tenggara), Awban (Papua), Serui (Arui, Papua), Kuri (Papua), Sasak, Bajo, Bima (Nusa Tenggara Barat), Dajub, Korowai Karuwage, dan Serui Laut (Papua). 

Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan, ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah masih menjadi isu yang relevan, dan semakin hari semakin kuat. Karena itu, pelestarian Bahasa Daerah harus menjadi tanggung jawab bersama dan gerakan bersama. Praktik Pelestarian Bahasa Daerah tidak bisa menerapkan pola yang seragam. Setiap bahasa daerah memiliki konteks sosial, budaya, jumlah penutur, dan kondisi geografis yang berbeda.

“Sehingga strategi pelestarian harus disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah,” sebut Fikri.

Pembangunan bahasa dan sastra, ungkap Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Dora Amalia, menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Pelestarian bahasa dan sastra daerah dilakukan melalui implementasi konservasi bahasa daerah yang lebih komprehensif dengan pendekatan berbasis komunitas, pengembangan program dokumentasi digital bahasa daerah.

Kemudian, penyediaan insentif dan penghargaan bagi komunitas dan individu yang aktif dalam pelestarian bahasa daerah. “Selain itu, kemandirian pemerintah daerah dalam pelaksanaan program Revitalisasi Bahasa Daerah berkelanjutan dan menyesuaikan kebutuham lokal,” ucap Dora. 

Bahasa Tegal atau Dialek Tegalan sendiri merupakan rumpun dari Bahasa Jawa dan dalam kategori aman, karena masih dipakai oleh semua anak dan semua orang. Namun demikian, upaya pelestariannya tidak boleh berhenti. Sebab, data menunjukkan jumlah penuturnya lebih muda dan berkurang atau tidak menggunakan lagi. Atau terbatas ranah penggunaannya, hanya dalam lingkungan keluarga saja.

Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Dwi Laeli Sukmawati menyampaikan, salah satu upaya yang dilakukan oleh Balai Bahasa yang dipimpinnya dalam melestarikan Bahasa Tegal sebagai rumpun dari Bahasa Jawa adalah dengan menerbitkan Kamus Jawa-Tegal. Upaya lainnya melalui Festival Tunas Bahasa Ibu dan serangkaian program Revitalisasi Bahasa Daerah, seperti yang akan diadakan di Surakarta.

Kategori :