Peringatan Hari PRT Nasional berawal dari kasus tragis yang menimpa Sunarsih, seorang Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) berusia 14 tahun.
BACA JUGA:Sidang Kasus Pemalsuan Akta di Semarang Ditunda, Pelapor Tak Hadir
BACA JUGA:Calon Ketua Askot PSSI, Supriyadi: Sepak Bola Kota Semarang Butuh Perubahan
Sunarsih bekerja di Surabaya dan mengalami penyiksaan berat bersama empat PRT lainnya di rumah majikannya.
Sunarsih dipaksa bekerja lebih dari 18 jam sehari tanpa upah, diberi makanan yang tidak layak, dikurung, serta tidak diberi akses komunikasi maupun sosialisasi.
Ia bahkan terpaksa tidur di lantai jemuran. Akibat penyiksaan yang terus-menerus, Sunarsih akhirnya meninggal dunia pada 12 Februari 2001.
Majikannya hanya dijatuhi hukuman empat tahun penjara, yang kemudian dipangkas menjadi dua tahun setelah banding, tanpa eksekusi nyata.
BACA JUGA:Langgar PDPRT, Banser Langsung Ditangani Provost
BACA JUGA:Diduga Trobos Palang Kereta, Siswi SMK Negeri 10 Semarang Tertemper KA Harina
Meski peringatan ini telah berlangsung bertahun-tahun, kondisi PRT di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera.
Padahal, dunia saat ini tengah meng kampanyekan penghormatan terhadap care worker atau pekerja di sektor perawatan.
Berdasarkan data JALA PRT, dari 2018 hingga 2023, terdapat 2.641 PRT yang mengalami kekerasan.
Kasusnya beragam, mulai dari kekerasan fisik dan psikis hingga eksploitasi ekonomi, seperti upah tidak dibayar, pemecatan sepihak, atau pemotongan gaji saat PRT sakit.
BACA JUGA:Wakapolres dan Kabag Logistik Polres Semarang Berganti Diemban Pejabat Baru
BACA JUGA:Wakapolres dan Kabag Logistik Polres Semarang Berganti Diemban Pejabat Baru
Para aktivis terus mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU PPRT untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi PRT, sehingga mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja yang layak.