JAKARTA, DISWAYJATENG.ID- Kerusuhan pecah di Morowali menewaskan tiga pekerja industri pengolahan nikel PT Gunbuster Nickel Industri (GNI).
Kerusuhan Morowali itu melibatkan tenaga kerja asing (TKA) China dengan pekerjaan Indonesia. Kerusuhan pada Minggu (15/1) ini dipicu oleh bentrok antara pekerja lokal dengan tenaga kerja asing (TKA) asal China di pengolahan nikel tersebut. Akibatnya, dua WNI dan satu TKA tewas.
Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, kerusuhan di Morowali sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Hal ini dipicu karena kebijakan pemerintah membiarkan banyaknya TKA dari China masuk ke Indonesia.
"Kawasan industri yang terjadi di berbagai wilayah tanah air termasuk di Morowali Utara sudah seperti 'negara dalam negara'," kritik Jumhur.
Bupati Morowali Utara, Delis Julkasson Hehi menyebut kerusuhan dipicu adanya provokator. Kerusuhan tersebut berawal dari penyerangan pekerja lokal ke TKA hingga berujung bentrokan.
"TKA yang diserang duluan, lalu terjadi bentrok. Di tengah bentrok ini, ada oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan untuk melakukan pengrusakan dan penjarahan di asrama karyawan putri TKI," ujar Bupati Morowali Utara.
Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, kejadian tersebut sudah dapat diduga jauh sebelumnya. Karena kebijakan pemerintah yang membiarkan banyaknya TKA dari China masuk ke Indonesia sudah sangat keterlaluan.
"Kawasan industri yang terjadi di berbagai wilayah tanah air termasuk di Morowali Utara sudah seperti 'negara dalam negara'," kritik Jumhur melalui keterangannya, Minggu (15/1).
Di kawasan-kawasan industri milik China itu, lanjut Jumhur, sudah menjadi rahasia umum bahwa upah TKA China berkali-kali lipat lebih besar dari upah pekerja lokal untuk jenis pekerjaan yang sama. Belum lagi fasilitas lebih bagus yang diberikan kepada TKA dengan alasan mereka orang asing.
Bahkan beberapa aturan, termasuk aturan ketenagakerjaan, dibedakan dengan aturan yang umumnya berlaku di wilayah Indonesia atau sengaja diubah demi investor dari China.
"Seperti aturan pajak dan aturan tidak boleh diskriminatif terhadap pekerja, aturan ekspor hasil tambang wajib dijual dengan harga murah ke smelter-smelter yang notabene sekitar 90 persen milik China," jelasnya.
Adapun yang dirasa menjadi penyebab ketegangan, papar Jumhur, adalah karena puluhan ribu TKA yang tidak berpendidikan layak atau pekerja kasar ternyata bisa menjadi pekerja di kawasan itu. Bahkan mereka tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal akibat tidak diwajibkan berbahasa Indonesia seperti aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya.
Melihat kondisi tersebut, Jumhur mendesak untuk segera dilakukan audit baik regulasi maupun pelaksanaan regulasi terkait dengan investasi dari China. Sebab regulasi yang ada terlihat sangat merugikan, baik bagi pendapatan negara maupun dalam bidang ketenagakerjaan.
"Apa untungnya bagi rakyat Indonesia bila dalam investasi dari China ini bahan-bahan pembangunan pabrik dan mesinnya langsung diimpor dari China, perusahaan mendapat bebas pajak atau tidak bayar pajak (tax holiday) bisa sampai 25 tahun, membawa TKA kasar yang upahnya berkali-kali lipat dibanding upah lokal?" paparnya.
"Padahal keuntungan usaha sepenuhnya milik perusahaan China dan Indonesia paling hanya kebagian sewa tanah dan penyerapan pekerja murah. Sementara itu, setelah mengeruk kekayaan luar biasa yang ditinggalkan adalah lingkungan hidup yang rusak," demikian Jumhur.