Oleh: Dahlan Iskan
BETAPA sulitnya orang kaya membayangkan susahnya orang miskin. Mungkin sama dengan Anda sekarang: apakah Anda bisa membayangkan sulitnya hidup di Sri Lanka.
Negara itu tidak punya lagi cadangan devisa. Artinya: tidak punya uang untuk impor. Termasuk impor BBM. Padahal negara itu tergantung 100 persen pada minyak impor.
Cadangan devisa negeri itu, pekan lalu, tinggal USD 50 juta. Kalah dengan tabungan sebuah perusahaan tambang batu bara kelas kecil di Indonesia.
Melihat kecilnya cadangan devisa Sri Lanka itu, tiba-tiba kita menjadi seperti negara kaya. Cadangan devisa kita mendekati USD 160 miliar. Miliar, bukan juta. Tertinggi dalam sejarah Republik Indonesia. Batu bara, sawit, dan nikel adalah tiga jagoan penghasil devisa Indonesia. Para eksporter kita, termasuk eksporter sarang burung dan sabut kelapa, telah membuat sejarah ekonomi bangsa.
Sedang sumber devisa Sri Lanka hanya satu: kedatangan turis asing. Maka ketika Covid melanda Sri Lanka sumber dolarnya langsung kering. Ada satu lagi: TKS –tenaga kerja Sri Lanka. Tergerus pandemi. Remiten dari mereka tidak ada lagi.
Sebenarnya Sri Lanka punya sumber pendapatan dolar lainnya: teh. Dan sedikit karet. Tapi panen tehnya merosot drastis. Penyebabnya: menteri pertanian. Atau menteri perdagangan. Atau menteri keuangan. Negara itu mengurangi impor pupuk secara drastis. Sebagai ganti pemerintah menyerukan agar petani menggunakan pupuk yang ada di dalam negeri.
Kebijakan di bidang pupuk itu salah besar. Tapi yang lebih salah lagi adalah kebijakannya di bidang pajak. Presiden Gotabaya Rajapaksa menurunkan pajak PPN sangat drastis. Dari 15 persen menjadi hanya 8 persen.
Pajak pendapatan pun diturunkan dari 30 persen menjadi 24 persen. Rupanya Rajapaksa terpengaruh oleh kebijakan pajak rendah Presiden Donald Trump di Amerika.
Padahal Sri Lanka bukan Amerika. Akibat kebijakan pajak itu Sri Lanka kehilangan pendapatan hampir USD 1,5 miliar.
Bukan hanya menurunkan pajak. Gotabaya merombak sistem perpajakan. Istilah politiknya: menyederhanakan pajak. Lima atau enam jenis pajak dihapus! Kebijakan ekonomi Sri Lanka tahun 2019 itu dikecam habis di seluruh dunia. Terutama oleh IMF, pemberi utang terbesar Sri Lanka. Sampai rating Sri Lanka turun.
Rajapaksa punya maksud yang sama dengan Trump: agar investor berbondong-bondong ke Sri Lanka. Yang datang justru Covid-19. Dua bulan setelah keputusan itu Covid masuk Sri Lanka.
Maka dengan cadangan devisa negara yang tinggal 50 juta dolar, tidak mungkin Sri Lanka bisa impor BBM. Apalagi negara itu sudah tidak bisa lagi cari pinjaman baru. Harapannya tinggal berutang berdasar belas kasihan. India tersentuh oleh nasib tetangga dekatnya itu. India sanggup meminjami USD 1,2 miliar. Tapi dalam bentuk bahan. Tiongkok juga sanggup meminjami USD 1 miliar. Bentuknya juga bahan-bahan, termasuk bahan makanan.
Bank Dunia hanya menyanggupi 500 juta. IMF masih membicarakannya. Amerika belum keluar suara: berapa. G7 baru di tahap mulai bersimpati. Belum berani mengeluarkan angka.
Itu belum cukup. Sri Lanka perlu uang setidaknya USD 5 miliar untuk bisa keluar dari kebangkrutan. Belum ada gambaran nyata dari mana bisa dapat dana sebanyak itu.
Yang sudah terpikir: menjual perusahaan negara Sri Lankan Airlines. Tidak seberapa tapi apa hendak dikata.