1.852 kg
1.823 kg
2.347 kg
Total 6.022 kg = Rp. 8.280.000.
Artinya satu kilogram Rp 1.375.
"Harusnya pemerintah menegur PKS," ujar Tini Lolang petani sawit 100 hektare di Kaltim yang lulusan Amerika.
Tentu yang membayar Rp 8.280.000 itu bukan PKS. Itu pengepul. Pabrik Kelapa Sawit menerima bahan baku dari para pengepul. Penegasan Mendag jelas: harga beli sawit dari petani paling rendah Rp 1.600.
Rupanya Mendag yang baru ini perlu juga blusukan ke kebun sawit rakyat. Lokasinya bukan di Kramat Jati. Anda, yang sudah tahu, bisa menunjukkannya.
Mekanisme pasar memang sulit dilawan. Petani sawit sudah biasa membuka website Kanwil Pertanian atau Dinas Perkebunan Provinsi. Seminggu sekali instansi itu mengeluarkan ketentuan harga buah sawit. Harga minggu lalu, misalnya, di atas Rp 3.000/kg. Lihat sendiri foto surat itu. Begitu jauh dari kenyataan yang Rp 1.350/kg, pun Rp 1.600/kg.
Harga internasional yang turun memang menyenangkan Mendag. Ia mengaku berhasil menurunkan harga minyak goreng dalam waktu singkat. Migor curah sudah bisa Rp 14.000/kg. Target tercapai. Tidak perlu menunggu 2 minggu.
Kini giliran petani yang harus menunggu harga membaik kembali. Guncangan akibat larangan ekspor ternyata lebih lama dari perkiraan Anda.
Praktik di lapangan lebih rumit dari itu. Ada saja akal pengepul. Kalau petani mengirim sawit satu truk 8 ton, bisa jadi bobot sawitnya dipotong sampai 8 persen. Dengan alasan sebagian sawitnya belum cukup masak.
Petani punya akal: kirimnya pakai mobil jenis pikap saja. Yang isi kurang dari dua ton. Biasanya hanya dipotong 2 persen.
Begitulah komoditas. Juru klasifikasi sangat menentukan. Kata-katanya bak hakim agung: inkracth! Mau dipotong 8 persen atau ditolak.
Alasan pemotongan banyak: tidak hanya kurang matang, juga terlalu matang. Ada yang berjamur. Rusak. Kosong.
Dalam sesapuan pandang saja juru grading langsung bertitah: potong sekian persen.