Ritual Jalan Kaki ke Desa Kuncen, inilah 8 Fakta Menarik Tradisi Nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas
Tradisi Nyadran Wangsa Bonokeli di Banyumas-Tribun Banyumas-
DISWAYJATENG - Ada sebuah tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat di Banyumas, Jawa Tengah. Tradisi nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas, begitu kira-kira masyarakat banyumas menyebutnya. Tradisi ini merupakan bagian dari perayaan menjelang bulan Ramadhan.
Tradisi nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas ini dilakukan oleh kelompok masyarakat yang dikenal sebagai Wangsa Bonokeling atau keturunan dari Kyai Bonokeling, seorang pemuka agama yang menyebarkan ajaran Islam di Banyumas dengan mengakomodasi budaya dan adat istiadat lokal.
Menurut beberapa sumber, asal-usul bonokeling sebenarnya masih misterius hingga kini. Ada yang menyebutkan, bonokeling adalah seorang patih dari kerajaan Pasir Luhur. Tetapi, Tradisi nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas ini cukup menarik untuk dibahas.
Sosoknya dipercaya memiliki ilmu kebatinan tinggi yang dapat digunakan sebagai jalan bagi keturunannya untuk menggapai keselamatan dunia dan akhirat. Kini para keturunannya yang masih menjunjung tinggi berbagai tradisi yang diajarkan oleh Kyai bonokeling, salah satunya, Tradisi nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas.
Berikut ini fakta menarik tentang Tradisi nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas. Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.
BACA JUGA:Keunikan Tradisi Masyarakat di Cilacap Pesisir Laut, Berikut 9 Fakta Menarik Tentang Sedekah Laut
1. Ajaran Kyai Bonokeling tentang Pertanian dan Peternakan
Kyai Bonokeling mengajarkan kepada masyarakat tentang bercocok tanam, peternakan, serta menanamkan nilai-nilai Islam dengan tetap menghargai budaya lokal yang ada. Beliau menggunakan pendekatan yang bijaksana dalam menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.
2. Tradisi "Perlu Nunggu Han" di Desa Pekuncen
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh Wangsa Bonokeling adalah "Perlu Nunggu Han" atau menunggu kedatangan bulan Ramadhan selama sepekan di Desa Pekuncen, Banyumas. Tradisi ini menjadi bagian dari persiapan menyambut bulan suci Ramadhan.
BACA JUGA:10 Fakta Menarik Kampung Suku Adat Jawa Kuno, Salah Satunya Tradisi Unik Masyarakat di Banyumas
3. Filosofi "Genting dan Pedot"
Masyarakat Bonokeling memiliki filosofi hidup yang disebut "genting dan pedot", yang berarti bertahan tanpa putus dalam menjaga tradisi dan ajaran leluhur. Filosofi ini menjadi pegangan bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
4. Berjalan Kaki Menuju Desa Kuncen dengan Hasil Bumi
Sebagai bagian dari tradisi nyadran, generasi Bonokeling dari berbagai daerah akan berjalan kaki menuju Desa Kuncen dengan membawa hasil bumi seperti buah-buahan, sayuran, dan bahan makanan lainnya. Ini merupakan simbol rasa syukur atas karunia alam yang diberikan.
5. Upacara Adat Bolon Unggahan
Selama tradisi nyadran, terdapat upacara adat yang disebut Bolon Unggahan. Dalam upacara ini, peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat lengkap dengan jubah hitam, termasuk bagi media yang meliput acara tersebut.
BACA JUGA:Tradisi Sinoman Masyarakat Jawa, Intip Berikut Ini Keunikan dan Ciri Khasnya
6. Penentuan Waktu Berdasarkan Kalender Atuh
Waktu pelaksanaan tradisi nyadran ditentukan berdasarkan kalender atuh atau kalender Jawa kuno. Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan, sebab yang terpenting adalah memahami makna ajaran leluhur yang terkandung dalam tradisi ini.
7. Berdoa di Makam Bonokeling dan Ziarah
Salah satu rangkaian acara dalam tradisi nyadran adalah berdoa di makam Kyai Bonokeling dan melakukan ziarah. Selain itu, masyarakat juga membersihkan Kompleks Makam Bonokeling sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka.
8. Kembali ke Desa Asal dengan Berjalan Kaki
Setelah rangkaian acara selesai, keturunan Bonokeling akan kembali ke desa asal masing-masing dengan cara berjalan kaki. Ini merupakan penutup dari tradisi nyadran yang unik dan menjadi warisan budaya di Banyumas.
Tradisi nyadran Wangsa Bonokeling di Banyumas ini merupakan representasi kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Tradisi ini tidak hanya menjadi sarana menyambut bulan Ramadhan, tetapi juga menjaga nilai-nilai kearifan lokal dan menghormati ajaran para leluhur.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: