Protokol Puting

Protokol Puting

Catatan DIS'Way Jateng --

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diskusi santai dengan teman-teman yang mengerti masalah perekonomian. Kebijakan Pemerintah waktu itu "menyetop export CPO" kemungkinan besar dilandasi 2 faktor : 1. Kekhawatiran yang tinggi terjadinya "stagflasi" yakni inflasi disertai pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi yang terjadi secara bersamaan dalam periode tertentu. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia belumlah sepenuhnya pulih paska Pandemi Covid-19. 2. Overestimate atas harga CPO dunia yang stabil di kisaran harga yang tetap tinggi, secara rasional memang supply yang lebih rendah daripada demand akan membuat harga tetap tinggi. Apalagi Indonesia adalah salah satu eksportir terbesar CPO, dengan menyetop ekspor CPO maka supply CPO dunia akan jauh di bawah demandnya, dengan demikian harga akan tetap tinggi, dan Pemerintahpun cukup lihai menyetop eksport CPO tersebut hanya untuk kurun waktu yang singkat dan berharap segera kembali mengekspor dalam kondisi harga yang stabil tinggi. Prediksi dalam sebuah Kebijakan Ekonomi tetaplah mengandung resiko karena tidak selalu akan sejalan dengan dinamika ekonomi dunia yang unpredictable. Selain itu, sepertinya dinamika politik di dalam negeri yang seringkali mempolitisir hal-hal yang sensitif membuat pemerintah tidak berani "flow as a circumstance according to Phillips Curve"

LiangYangAn 梁楊安:

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diskusi santai dengan teman-teman yang mengerti masalah perekonomian. Kebijakan Pemerintah waktu itu "menyetop export CPO" kemungkinan besar dilandasi 2 faktor : 1. Kekhawatiran yang tinggi terjadinya "stagflasi" yakni inflasi disertai pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi yang terjadi secara bersamaan dalam periode tertentu. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia belumlah sepenuhnya pulih paska Pandemi Covid-19. 2. Overestimate atas harga CPO dunia yang stabil di kisaran harga yang tetap tinggi, secara rasional memang supply yang lebih rendah daripada demand akan membuat harga tetap tinggi. Apalagi Indonesia adalah salah satu eksportir terbesar CPO, dengan menyetop ekspor CPO maka supply CPO dunia akan jauh di bawah demandnya, dengan demikian harga akan tetap tinggi, dan Pemerintahpun cukup lihai menyetop eksport CPO tersebut hanya untuk kurun waktu yang singkat dan berharap segera kembali mengekspor dalam kondisi harga yang stabil tinggi. Prediksi dalam sebuah Kebijakan Ekonomi tetaplah mengandung resiko karena tidak selalu akan sejalan dengan dinamika ekonomi dunia yang unpredictable. Selain itu, sepertinya dinamika politik di dalam negeri yang seringkali mempolitisir hal-hal yang sensitif membuat pemerintah tidak berani "flow as a circumstance according to Phillips Curve"

agus budiyanto:

Orang Jawa bilang, Zulhas kepener sunate.

Yoga The Iceman:

saya pikir nasib Sri Lanka pun sama seperti mantan mendag Lutfi, sial saja nafasnya kurang panjang untuk menunggu kebijakan Quantitative Tightening dari the Fed. jangan2, jadwal pergantian mendag sengaja sudah diatur waktunya supaya popularitas naik tanpa pusing mikirin kebijakan?

alasroban:

Di Eropa. Bahkan di level peternak. 1 sapi meninggal lapor ke app punya pemerintah. Semacam departement pertanian/peternakan atau yang sejenisnya. 1 ekor sapi lahir juga begitu langsung di laporkan dan di registrasi. Maka data status persediaan makanan (daging sapi) up to date terus. Dengan system supply chain management yang begitu bagusnya. Maka drama politik pergantian mentri seperti yang terjadi di Indonesia raya ini jadi berkurang. Mungkin karena terlalu PD dengan syste yang di punyai, maka berani main gertak-gertakan negara tetangga.

Jimmy Marta

PSI juga gk bersalah pak. Ia hanya ikut2an. Tp kena imbas yg paling berat. Petani Sawit Indonesia.

Agus Suryono

PKS DAN PKB.. "Harusnya Pemerintah menegut PKS", ujar Tini Lolang, petani sawit 100 hektare di Kaltim, yang lulusan Amerika.. Karena PKS membeli sawit di bawah harga Rp 1.600 seperti diharuskan Mendag. "Hah..? Kalau PKB bagaimana.., kataku. == PKS = pabrik kelapa sawit PKB = petani kaya baru..

Johannes Kitono:

Selamat untuk Mendag Zulhas yang hoki 2 kali. Pertama terpilih jadi Mendag, kedua saat diangkat harga global CPO turun yang tentu berdampak terhadap harga minyak goreng domestik juga. Siapapun Presiden dan Menterinya kalau bikin keputusan jangan melihat dari satu sisi saja. Harus secara holistik. Saat mass media ramai ramai ekspose ibu ibu antri minyak goreng, Presiden dengan Sapujagat langsung stop ekspor CPO dan turunannya. Padahal saat itu harga global CPO sedang tinggi. Tinggal para petani sawit yang harus gigit jari. Harga sawit langsung turun seperti pelosotan sampai detik ini, biarpun ekspor sdh dibuka kembali. Ketika harga sawit diatas Rp.3.000,-/kg yang juga diikuti naiknya harga pupuk. Hari Senin ini ( 27/6) harga sawit per kg yang diterima PT ASP di Kab Sanggau sbb : - Buah besar Rp.1 260,- Buah kecil Rp.1.160,- dan Brondolan Rp.1.800,- sedangkan di Kab Sambas harganya rerata Rp.1.200,- dengan pemotongan berat 3,5 - 4 %. Dan harga pupuk yang sudah tinggi masih tetap tinggi. Tidak turun lagi seperti harga sawit. Untuk masalah harga ini ternyata Presiden maupun Menteri tidak berdaya melawan hukum besi. Hukum permintaan dan penawaran yang berlaku universal. Now,pemerintah harus antisipasi. Turunnya harga TBS dan naiknya Pupuk bisa membangkrutkan petani dan pengusahanya.Kalau itu terjadi bisa bisa suatu saat Indonesia harus impor minyak goreng dari Malaysia. Amit amit, semoga itu tidak terjadi !!!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait