“Anak-anak kami pulangkan sekitar jam sepuluh karena hujan deras tak berhenti,” ujar Esti di lokasi kejadian.
“Beberapa menit setelah suasana sekolah sepi, terdengar suara gemuruh keras, dan kami langsung lari karena debunya sudah mengepul,” lanjutnya menggambarkan detik-detik ruangan ambruk.
Ruang yang runtuh tersebut awalnya merupakan ruang kelas ketika wilayah itu masih memiliki dua sekolah, sebelum pada 2013 dilakukan merger menjadi SDN Proyonanggan 3.
Esti menjelaskan bahwa ia sudah mengajukan proposal pemanfaatan ruangan tersebut untuk dijadikan musala, tetapi prosesnya masih menunggu persetujuan dinas.
Nahasnya, reruntuhan bangunan tidak hanya merusak sekolah, tetapi juga menjatuhi dua rumah warga yang berada tepat berdampingan dengan dinding sekolah.
“Di rumah Pak Yudi, yang dapurnya persis mepet dengan tembok sekolah, beliau sedang memasak saat reruntuhan jatuh,” ungkap Esti.
“Beliau terkena serpihan bangunan di kepala dan kakinya, berdarah, dan langsung kami bawa ke puskesmas sebelum dirujuk lagi untuk rontgen karena kakinya bengkak,” jelasnya.