"Apakah di forum tersebut Anda menyebut nama pondok dan kiainya?" tanya saya.
"Tentu tidak. Saya justru bangga dengan pondok besar itu karena kemandiriannya," ujarnya.
Ia pun membisiki saya. "tapi jangan ditulis ya," katanya.
Kenapa tidak minta maaf saja? Agar reda?
“Saya sudah minta pengurus untuk memintakan maaf. Tapi malah salah. Malah dikira saya bersalah. Saya itu tidak merasa bersalah," tegasnya. "Risiko apa pun saya hadapi. Dicopot dari jabatan menteri pun saya tidak takut. Kebenaran harus ditegakkan," katanya.
Itulah Suharso Monoarfa.
Meski orang Gorontalo, Suharso lahir di Mataram, Lombok. Waktu itu ayahnya, Adam Yunus Monoarfa, mendapat tugas dari Bung Karno. Adam bersama dua orang lainnya harus ke Nusa Kecil –kini disebut Bali, NTB, dan NTT. Mereka bertugas menerima penyerahan wilayah dari raja-raja kecil di Nusa Kecil untuk dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia.
Pertama kali ayahnya mendarat si pelabuhan Atapupu. Lalu ke So'e. "Kakak saya lahir di So'e, Timor," ujar Suharso.
Di setiap daerah mereka bertemu raja kecil. Menerima kekuasaan dari mereka. Lalu Sang ayah ke Lombok. Untuk menerima penyerahan dari raja Karangasam, Mataram. "Saat itulah saya lahir," katanya.
Dari Nusa Kecil sang ayah dipindah ke Malang. Lalu ke Blitar. Masa kecil Suharso di Blitar. Masa remajanya di Malang.
"Di Blitar rumah kami di sebelah rumah Bung Karno. Saya sering digendong Bu Wardoyo, kakak Bung Karno. Sering disuapi kacang hijau," ujar Suharso. "Saya juga sering diberi bola kaki yang wujudnya jeruk bali," tambahnya.
Tapi kenapa orang Gorontalo bernama Suharso?
"Waktu ibu melahirkan saya, ayah lagi bertugas di pulau lain. Polisi yang membantu ibu melahirkan bernama Suharso," katanya. (*)