Sampai pun dalam negeri megap-megap.
Yang nomor dua adalah ekspor nikel. Mencapai 2,3 juta ton. Angka itu merupakan perubahan drastis di Tiongkok. Kini Tiongkok sudah tergantung pada nikel Indonesia (90 persen). Nilai yang diterima Indonesia sekitar Rp 90 triliun.
Baru yang nomor 3 adalah CPO: sekitar Rp 35 triliun.
Maka, kini, sudah begitu saling tergantung dua negara itu. Yang suka, yang tidak suka, yang gundul, yang gondrong, yang mancung, yang pesek, mau tidak mau menerima kenyataan itu.
Kita tidak lagi hanya dibanjiri barang Tiongkok. Hanya jenis banjirnya yang berbeda. Banjir yang dari sana Anda sudah hafal: barang elektronik. Semua itu gara-gara Anda sendiri, dan saya. Terutama karena Anda tidak bisa lagi tidak membawa handphone. Sudah punya Huawei masih beli Oppo. Mencoba pula beli Vivo. Tergoda lagi beli beras menir Tiongkok –Xiaomi. Masih melirik pula yang baru: Realme.
Maka enam bulan terakhir ini saja sebanyak 10 juta handphone Tiongkok dikirim ke Indonesia. Tiongkok begitu jeli melihat selera orang Indonesia: suka mejeng. Seperti di Tiongkok juga. Maka kamera yang mampu membuat foto ''seindah warna aslinya'' sudah ketinggalan zaman. Handphone Tiongkok bisa membuat foto lebih indah dari warna aslinya. Bisa membuat wajah lebih cantik, kulit lebih bening, dan pinggang lebih langsing.
Perdagangan kedua negara ternyata ditentukan juga oleh Anda. (*)