Oleh: Dahlan Iskan
TIGA hari terakhir saya terusik oleh single image ini. Itu istilah medsos. Saya menyebutnya video –tapi memang bukan video.
Di tayangan itu ada suara yang sedang bercerita: tentang jenderal polisi bintang dua. Namanya bukan Ferdy Sambo, tapi satu kata: Fembo. Ia punya istri bukan bernama drg Putri Candrawathi, tapi namanya juga satu kata: Aswati.
Diceritakan –dengan suara penyiar TV yang empuk– Fembo-Aswati sudah punya anak. Sudah jarang bersentuhan. Masing-masing punya kesibukan tinggi. Sang suami sering pergi. Ditemani polisi wanita yang masih sangat muda. Juga cantik. Ada namanya di situ.
Ketika sang istri lagi pergi, di perjalanan, dia ingat wanita itu. Geram. Cemburu. Panas. Dia curhat ke sopir. Sampai menangis. Panjang. Nelangsa. Menderita. Sampai menaruh wajahnya di pundak sang sopir.
Diceritakan, sang sopir kikuk. Dan seterusnya. Seterusnya. Seterusnya. Sampai suatu hari sopir itu disergap di dalam kamar sang istri. Oleh sang suami. Diseret keluar. Dihajar. Babak belur. Habis. Lalu ditembaki. Lalu diatur skenario penyelamatan.
Di akhir single image itu ada disclaimer: "Ini hanya cerita fiksi. Kalau ada kemiripan nama dengan kejadian di dunia nyata itu hanya kebetulan".
Saya merenung agak panjang selesai menonton itu. Bagaimana bisa seseorang mengunggah single image seperti itu. Ini dunia baru media. Saya tidak kenal sama sekali yang seperti itu.
Nama pengunggahnya Yogyasmoro. Itu nama di YouTube. Entah siapa aslinya. Di pojok kiri atas terlihat logo gedung abstrak beratap merah. Ada gambar bendera berkibar di atas atap itu. Lalu ada tulisan Police di bagian bawah gambar gedung.
Seorang wartawan beneran tidak akan bisa bersaing dengan model media seperti itu. Jangankan informasi sampai ke soal nangis di pundak, wartawan tidak bisa dapat keterangan yang paling sepele sekalipun: di mana HP milik si sopir.
Kalau itu memang karya fiksi mengapa begitu miripnya. Kalau itu bukan fiksi, dia/ia harus mendapat hadiah jurnalistik Adinegoro. Berarti pembuat single image itu mendapat informasi dari sumber terdekat dengan peristiwa itu. Ia/dia adalah bagian dari orang dalam.
Tapi Yogyasmoro menegaskan itu fiksi. Judulnya: Tamatnya Karir Sang Jenderal Polisi.
Bisakah karya seperti itu dituntut? Tentu. Karya apa pun bisa dituntut. Tapi siapa yang akan menuntut?
Tentu pihak yang merasa dirugikan. Siapa yang dirugikan?
“Yang dirugikan pers dan masyarakat luas," jawab Ilham Bintang, wartawan senior pemilik media Cek&Ricek. Ternyata ia sudah lebih dulu melihat single image tersebut. "Berarti pers kita bisa dianggap bohong selama ini," tambah aktivis perfilman Indonesia itu.
Tapi pers tidak akan menuntut Yogyasmoro. Menurut pendapat saya, yang dirugikan paling besar adalah keluarga jenderal itu. Atau keluarga sopir. Tapi kan ada disclaimer bahwa itu fiksi?