Tangis Mama

Tangis Mama

Suatu saat Bambang diundang ke sebuah stasiun radio di London. Untuk wawancara. "Saya mengira akan diwawancarai soal bagaimana dokter menangani Covid," ujarnya.

Ia sempat menyangka salah kamar. "Di radio itu saya masuk ke kamar yang ada banyak orang. Lalu saya minta maaf karena telah salah masuk. Ternyata mereka bilang saya tidak salah," kenang Bambang.

Di situ Bambang diberi tahu: untuk masuk seleksi BGT. "Saya kaget. Saya sampai speechless lama. Sampai tiga menitan. Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana," katanya.

Tapi ia seorang dokter. Bisa mengendalikan emosi. Lihatlah di video itu. Ketika empat juri berdiri untuknya. Bambang memang terlihat senang. Tapi lihatlah sendiri gaya kegembiraannya. Cool. Humble.

Kini Bambang berumur 30 tahun. Masih bujang. Hanya sibuk sekolah dan sekolah. Dan menyanyi. 

Di bidang kedokteran ia menyukai bidang klinis sekaligus riset. Banyak dokter yang hanya fokus di klinis. Sedikit dokter yang menekuni riset. Bambang suka dua-duanya.

Bahkan tiga.

Ia tidak hanya ingin jadi dokter. Ia juga ingin jadi penyanyi. Beneran. Profesional. "Kalau saya diundang nyanyi untuk semisal konser atau bikin album, mungkin saya akan setuju," katanya. "Sepanjang tidak mengganggu keselamatan pasien," tambahnya.

Tidak maukah 100 persen pindah profesi jadi penyanyi? Berhenti jadi dokter?

“Saya khawatir pasien saya pada kangen," jawabnya diplomatis.

Sambil terus menyanyikan pasiennya di bangsal-bangsal kanker Bambang kini menunggu kapan masuk semifinal. Itu tidak mudah. Masih harus beberapa kali tampil. Juga harus menjalani wawancara dengan tema di balik layar.

Dari 35 yang sudah lolos tahap sekarang ini hanya akan dipilih 10 saja. Itulah finalnya. Bambang luar biasa. Doa kita.

"Di Inggris Anda juga dipanggil Bambang?" tanya saya.

"Awalnya dipanggil Trytia. Kini dipanggil Bambang," katanya

Di SMA ia juga dipanggil Bambang. Di SMP Lab Rawamangun pun dipanggil Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: