Oleh : Sherly Putri Amanda
NPM : 4222500013 Mahasiswa D3 Manajemen Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPS Tegal DEMAM bisnis properti mengindikasikan ada potensi penerimaan pajak yang sangat menjanjikan. Ditandai, banyak terjadi penghindaran pajak yang dilakukan oleh pelaku bisnis properti yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah. Demam bisnis properti mengindikasikan masih besarnya potensi penerimaan pajak yang dapat digali. Investasi tanah dan bangunan, atau dikenal dengan istilah properti, masih menjadi salah satu investasi favorit masyarakat Indonesia. Alasannya, investasi ini relatif aman tetapi memberikan imbal hasil yang baik (low risk, moderate to high return). Tingginya animo pembeli membuat bisnis ini terus berkembang. Proyek properti terus bermunculan dan dikembangkan, baik berupa lokasi perumahan maupun lokasi bisnis seperti perkantoran, pergudangan, mal, sentra bisnis, dan lain sebagainya. Menyadari adanya potensi penerimaan pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan sektor properti sebagai salah satu sektor prioritas penggalian potensi pajak di tahun 2013 dan masih berlanjut hingga saat ini. Diduga masih banyak terjadi penghindaran pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh), yang dilakukan oleh para pelaku Berawal dari kasus simulator SIM dengan terdakwa DS. Kita mendapat suguhan gamblang kasus penghindaran pajak atas transaksi properti yang terjadi di masyarakat. Dalam persidangan di pengadilan terungkap adanya penjualan rumah mewah oleh pengembang kepada terdakwa seharga Rp 7,1 miliar di Semarang. Namun di akta notaris hanya tertulis Rp 940 juta. Itu artinya terdapat selisih harga Rp 6,1 miliar. Selain itu, terdakwa juga membeli rumah di wilayah Depok dengan harga Rp 2,65 miliar. Namun di akta jual beli hanya tertulis Rp 784 juta, atau ada selisih Rp 1,9 miliar. Selisih nilai tersebut jelas menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara. Celakanya, kasus ini merupakan puncak gunung es semata. Kasus penghindaran pajak di atas boleh jadi terjadi karena suatu kesengajaan. Dapat juga disebabkan oleh ketidaktahuan para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Penjual, pembeli, dan atau notaris mungkin saja tidak mengetahui jumlah yang mana yang harus dijadikan dasar dalam menghitung pajak terkait transaksi properti tersebut. Namun terlepas dari apa pun yang terjadi di antara para pihak yang terlibat, penulis berpendapat bahwa dari sisi peraturan, khususnya peraturan PPh, masih bermasalah. Ini memicu terjadinya penghindaran pajak, baik secara sengaja maupun tidak. Ketentuan tentang pengenaan PPh atas transaksi properti (pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan) diatur dalam PP No. 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No. 71 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur besarnya PPh terutang atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar lima persen dari jumlah bruto nilai pengalihan. Nilai pengalihan ditetapkan sebagai nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak (nilai Akta) dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. PPh sebesar lima persen tersebut bersifat final dan dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi transaksi: Pertama, penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah; Kedua, penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus. Dalam penjelasan umum PP No. 48 Tahun 1994 disebutkan bahwa ketentuan tentang pemenuhan kewajiban pembayaran PPh dalam peraturan pemerintah ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Mengingat besarnya potensi penerimaan pajak dari transaksi properti, maka kepatuhan Wajib Pajak (WP) pada sektor ini akan sangat memengaruhi keberhasilan atau realisasi pengamanan penerimaan pajak secara keseluruhan. Namun perlu disadari bahwa kepatuhan WP sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Aturan yang baik dan pelayanan yang memuaskan atas pemenuhan hak-hak WP merupakan dua dari sekian banyak faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan mereka. Kesimpulan : Potensi penerimaan pajak dari sektor properti memang sangat tinggi. Namun potensi ini tidak akan dapat terealisasi secara optimal jika ketentuan yang mengaturnya masih mengandung banyak masalah. Hilangnya potensi penerimaan pajak seperti dalam kasus DS yang disampaikan sebelumnya, semestinya tidak boleh terjadi lagi. Apalagi sektor properti masih menjadi salah satu prioritas penggalian potensi penerimaan pajak. Maka, pembenahan di sisi peraturan perpajakan atas transaksi properti sangat mendesak. Peraturan yang baik dan pelayanan yang prima akan mendorong peningkatan kepatuhan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. (adv)