Akademisi UMK Sorot Penjurusan SMA, Pilihan Jurusan Bebani Psikologis Siswa

Akademisi UMK Sorot Penjurusan SMA, Pilihan Jurusan Bebani Psikologis Siswa

Pemerintah berencana menerapkan kembali sistem penjurusan di SMA.-arief pramono/diswayjateng.id-

KUDUS, diswayjateng.id- Rencana pemerintah kembali menerapkan sistem penjurusan di jenjang SMA yang mencakup jurusan IPA, IPS dan Bahasa, kini memicu diskusi hangat di kalangan akademisi, pendidik, hingga pakar psikologi. 

Kebijakan baru di masa Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti ini menjadi sorotan. Alasannya, karena dianggap langkah mundur dari semangat Kurikulum Merdeka, yang sebelumnya menghapus sistem penjurusan demi memberikan kebebasan belajar kepada siswa.

Salah satu suara kritis datang dari Dr. Nur Mahardika, S.Pd., M.Pd., dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Muria Kudus (UMK). Ia menilai, perubahan struktur pendidikan ini menyentuh aspek fundamental dalam pengembangan generasi mua. Yakni kesiapan menghadapi masa depan yang kompleks, tanpa mengorbankan kesehatan mental maupun ruang eksplorasi diri.

“Secara teknis, sistem penjurusan memang tampak mempermudah penyelarasan dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA), yang menggantikan Ujian Nasional,” ujar Mahardika.

Menurut Mahardika, siswa yang telah memiliki minat di bidang tertentu bisa lebih fokus mempersiapkan diri sesuai jalurnya. Hal ini juga memberi kejelasan profil akademik yang dibutuhkan, terutama untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

Namun,  kata Mahardika, penerapan kembali penjurusan justru berpotensi menyempitkan cakrawala pendidikan. Konsep Kurikulum Merdeka yang memberikan ruang bagi siswa mengeksplorasi beragam bidang, kini dipangkas dengan pembatasan pilihan jurusan.

“Padahal tantangan dunia saat ini, membutuhkan individu yang mampu berpikir lintas disiplin. Isu seperti perubahan iklim, misalnya, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan sains, tetapi juga melalui kebijakan publik dan komunikasi yang efektif,” jelasnya.

Mahardika juga menyoroti dampak psikologis pada remaja yang dipaksa memilih jurusan di usia 15 hingga 17 tahun, dimana fase krusial pembentukan identitas diri. 

Dalam usia ini, imbuh Mahardika, siswa SMA masih banyak bereksperimen dan mencari jati diri. Karena itu, pilihan jurusan yang dianggap permanen, dapat menjadi beban psikologis tersendiri.

“Bayangkan siswa yang mencintai sastra, tapi terpaksa masuk IPA karena tekanan orang tua atau stigma bahwa IPA lebih bergengsi. Hal ini bisa memicu stres akademik, menurunkan motivasi belajar, bahkan membuat siswa merasa terasing dari dirinya sendiri,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti hierarki tak sehat antarjurusan yang masih terjadi di banyak sekolah. Jurusan IPA sering dianggap ‘elit’, sementara IPS dan Bahasa dipandang sebagai pilihan sekunder. 

“Pandangan seperti ini merusak rasa percaya diri siswa dan menciptakan lingkungan belajar yang tidak inklusif,” tambahnya.

Mahardika juga mempertanyakan relevansi sistem penjurusan di era modern yang menuntut keterampilan interdisipliner. Merujuk laporan World Economic Forum 2023, sekitar 65 persen pekerjaan di masa depan belum tercipta hari ini. 

Artinya, lanjut Mahardika, siswa tidak cukup hanya menguasai satu bidang, melainkan harus fleksibel dan mampu mengintegrasikan berbagai pengetahuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: