Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen di 2025, Apa Dampaknya?
Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen di 2025, Apa Dampaknya?-Tangkapan layar diswayjateng.id-
JATENG.DISWAY.ID - Pemerintah berencana untuk meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini diperkirakan akan berdampak pada daya beli masyarakat serta meningkatkan angka pengangguran.
Berdasarkan beberapa sumber, setelah tarif PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, kini akan resmi meningkat lagi menjadi 12% pada tahun 2025. Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021.
Dalam konteks perencanaan kenaikan PPN ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa tujuan dari kenaikan tarif PPN adalah untuk menyelaraskan Indonesia dengan negara-negara anggota OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). Saat ini, tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif negara lain.
BACA JUGA:BRI Imbau Masyarakat Jangan Terkecoh Penipuan Perbankan, Marak Modus Tagihan Pajak
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Pemerintah yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas transaksi jual-beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Wajib Pajak yang memungut PPN diwajibkan untuk menyetorkan pajak tersebut ke kas negara, karena PPN tidak bersifat kumulatif atau pajak tidak langsung, melainkan bersifat objektif.
Subjek yang dikenakan PPN terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non-PKP. Perbedaannya, PKP diwajibkan untuk memungut PPN, sedangkan Non-PKP tidak diperkenankan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai.
Namun, untuk Non-PKP, saat melakukan transaksi barang atau jasa yang dikenakan PPN, mereka tidak dapat mengklaim kredit Pajak Masukan. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa kebijakan peningkatan tarif PPN tidak tepat jika diterapkan tahun depan, mengingat daya beli masyarakat masih sangat tertekan.
BACA JUGA:Agustin: Pajak dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Dapat Tingkatkan APBD Kota Semarang
"Kebijakan untuk menaikkan tarif PPN akan mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat, yang pada akhirnya bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat juga akan semakin menurun," ungkap Nailul.
Ia juga menambahkan bahwa kenaikan PPN dapat berpotensi menyebabkan dampak negatif yang serius, yaitu meningkatnya angka pengangguran. "Dampak terburuknya adalah peningkatan pengangguran. Kesejahteraan masyarakat akan sangat terpengaruh," lanjutnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,20 juta orang per Februari 2024, yang setara dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,82 persen.
Di pihak pembuat kebijakan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, menyatakan bahwa meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pelaksanaannya akan mengikuti kebijakan pemerintahan yang baru.
Berdasarkan data dari Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), kenaikan tarif PPN di Indonesia menjadi 12 persen mulai tahun depan masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada 31 Desember 2022, OECD mencatat rata-rata tarif PPN sebesar 19,2 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: