Vivo 1000
Catatan DIS'Way Jateng --
Oleh: Dahlan Iskan
"TADI isi bensin, kok beda ya harganya. Yang di Karawang tadi Rp 7000-an. Di Sragen ini kok Rp 10 ribuan ya....".
Teman saya itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Surabaya. Ia tidak memonitor berita. Ia tidak tahu ada kenaikan harga BBM, mendadak, ketika ia berada di tengah perjalanan dari Karawang ke Sragen. Di hari Sabtu lalu.
Ia jadi saksi betapa mendadak pengumuman itu. Di akhir pekan pula. Saya jadi ingat Pak Jusuf Kalla. Cara seperti itu telah menjadi bagian dari kecerdikannya. Pernah pada zaman Pak JK, harga BBM diumumkan justru di hari akhir menjelang bulan puasa.
Zaman Pak JK menjabat wakil presiden itu demo pasti meledak di setiap kenaikan harga bahan bakar minyak. Maka momentum mengumumkannya menjadi penting. Di bulan puasa konsentrasi umat beribadah. Berpuasa. Pun akhir pekan. Potensi demo turun drastis. Perhatian masyarakat di akhir pekan adalah pada liburan.
Sayangnya medsos tidak mengenal puasa. Juga tidak mengenal hari libur akhir pekan. Maka keributan tetap terjadi. Di medsos. Hanya di medsos. Toh akhirnya kenaikan harga BBM itu harus diterima.
Memang hanya ekonom Kwik Kian Gie yang tervokal menolak kenaikan harga BBM. Ia tidak bisa mengerti alasan pemerintah yang didengungkan selama ini: subsidi yang besar. Yang kalau ditotal mencapai Rp 502 triliun.
Ekonom Anthony Budiawan juga tidak kalah vokal. Tapi saya menganggap Anthony itu Kwik Kian Gie juga. Satu lembaga kajian di Jakarta. Satu almamater di Rotterdam, Belanda.
Pak Kwik menelepon saya. Ia tidak habis pikir bagaimana di negara Pancasila perhitungan ekonominya ikut kapitalis. "Bagaimana ya cara meyakinkan para ekonom itu?" tanyanya.
Anthony punya cara sendiri. Ia terus menulis. Memperjuangkan pemikirannya itu. Tiap hari. Bahkan bisa sehari dua kali. Ia sebarkan tulisan pendek itu ke media. Juga lewat medsos pribadinya.
Rasanya, di negeri ini, hanya dua orang itu yang pemikiran ekonominya berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Rakyat punya pemikiran sendiri. Mereka kelompok yang tidak banyak berdaya. Mereka memilih cari cara sendiri. Agar bisa lebih hemat BBM.
Misalnya, ada pertanyaan seperti ini. Di medsos. Yang menjawab pun ribuan. Pertanda mereka satu nasib. "Mana yang lebih hemat, membeli BBM berdasar nilai uang, atau berdasar jumlah liter".
Maksudnya, ketika Anda membawa sepeda motor ke pompa bensin, pilih mengatakan "membeli bensin Rp 20.000" atau "membeli bensin 2 liter?".
Bukankah itu sama saja?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: