Pinggang Langsing

Pinggang Langsing

Catatan DIS'Way Jateng --

Oleh: Dahlan Iskan

SIAPA tahu Presiden Jokowi bisa tidur di pesawat. Bisa istirahat.  Meski hanya 3 jam.

Pukul 00.30 beliau baru bisa terbang dari Beijing. Menuju Tokyo. Itu berarti sudah pukul 01.30 waktu Tokyo.

Berarti pula, saat Garuda 001 mendarat di Bandara Haneda, sudah pukul 04.30. Tiba di hotel sudah pukul 05.00. Sudah harus menyiapkan diri menghadiri serangkaian acara di Tokyo. Lalu buru-buru ke Seoul, Korea Selatan.

Rasanya, malam itu, Presiden Jokowi juga tidak mungkin bisa tidur 3 jam. Harus menunggu pesawat mengudara dulu. Baru bisa mulai tidur. Pun 20 menit sebelum mendarat sudah harus bangun. Berarti, malam kemarin itu, Presiden hanya tidur sekitar dua jam.

Begitu berat tugas seorang presiden. Apalagi, kebetulan, dapat giliran menjadi ketua negara-negara besar G-20. Tidak banyak presiden sehoki Jokowi. Baru 19 tahun lagi ada Presiden Indonesia bisa menjadi ketua G-20. Entah siapa Presiden Indonesia di tahun 2041 kelak. Mungkin salah satu anak Anda. Atau siapa pun yang sekarang masih siswa SMA. Atau mahasiswa. Itu kalau orang-orang di atas 70 tahun tidak ngotot mencapreskan diri.

Saya bisa membayangkan betapa banyak agenda Presiden Jokowi di Beijing. Apalagi soal kecil seperti sarang burung dan porang sempat dibicarakan.

Kini memang baru sebagian kecil sarang burung Indonesia bisa diekspor lagi langsung ke Tiongkok. Sebagian besar masih harus lewat pihak ketiga. Keluhan petani sarang burung sangat banyak. Sejak empat bulan lalu pun saya sudah dititipi pesan itu oleh mereka.

Demikian juga porang. Sejak pandemi dua tahun lalu harga umbi porang terjun bebas. Dari Rp 7.500/kg tinggal Rp 4.000. Belakangan harga itu memang mulai sedikit naik lagi. Menjadi Rp 4.500/kg. "Tiongkok sudah mulai membeli porang lagi. Belum banyak tapi sudah mulai naik," ujar Johan Sudjatmiko, eksporter porang dari Sidoarjo, Jatim. Ia juga punya pabrik porang. Ia memproduksi tepung porang, beras porang, dan mie porang. Yang di Jepang disebut shirataki yang mahal itu.

Tentu petani porang sangat menunggu hasil pembicaraan Presiden Jokowi di Tiongkok. Biasanya kalau Presiden Indonesia yang minta Tiongkok akan mengabulkan.

Porang kini sudah melanda Indonesia. Di mana-mana petani menanam porang. Covid menenggelamkannya. Tenggelam benar juga tidak. Biaya menanam porang itu tidak mahal. Pemupukannya juga tidak seperti padi dan atau jagung. Harga Rp 7.500/kg, dua tahun lalu itu, memang seperti durian tiga runtuh sekaligus. "Dengan harga Rp 4.500 pun sebenarnya masih untung," ujar Nahum Eka Wanda, aktivis porang dari Blitar. Apalagi kalau bibitnya tidak usah beli. Cukup dari ''tahi lalat'' porang yang muncul di daun-daunnya.

Berarti yang dibicarakan Presiden Jokowi di Beijing luar biasa banyaknya. Soal undangan menghadiri KTT G-20 di Bali November depan. Terutama terkait dengan memuncaknya konflik sesama anggota G-20, Amerika-Rusia.

Juga soal kereta cepat Jakarta-Bandung. Soal pengembangan kawasan Industri masa depan di Kalimantan Utara. Soal jalan tol Sumatera. Soal gasifikasi batu bara. Mencairkan gas. Dan yang lagi hangat: soal CPO. Agar Tiongkok mau membeli CPO Indonesia lebih banyak lagi. Itu untuk menaikkan harga jual buah sawit yang merosot belakangan ini –dan memukul keras petani sawit.

Soal peningkatan perdagangan rasanya tidak perlu dibicarakan. Sudah meningkat sendiri. Drastis. Dalam tiga tahun terakhir. Belum pernah nilai perdagangan dua negara mencapai setinggi sekarang. Rekor: lebih USD 120 miliar setahun. Dari hanya USD 20 miliar beberapa tahun lalu.

Ekspor Tiongkok ke Indonesia naik hampir 50 persen. Ekspor Indonesia ke Tiongkok juga naik drastis: 70 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: