Puting Jantan

Puting Jantan

Catatan DIS'Way Jateng --

Gianto Kwee: Mene Mene Tekel Upharsin, Tulisan didinding istana raja Belshazzar, Daniel 5:30-31 Konon arti 4 kata sebagai berikut : "Dihitung, Dinomori, Ditimbang dan Dibagi" ada beberapa tafsiran dari tulisan tersebut, salah satunya : "Ditimbang-timbang masih terasa ringan" pesan dari tafsiran tersebut : Satu satunya yang punya wewenang untuk "Menimbang dan menyatakan berat atau ringan" hanya Tuhan ! Jadi yang terlibat di kasus ini, Pengacara dan Kepolisian harus mencari "APA" yang benar dan bukan "Siapa" yang benar, Salam

doni wj: Sampai kalimat ke empat, saya sepakat (asumsi kalimat dibatasi titik). Tapi di kalimat ke lima, "Penembaknya jelas". Saya belum bisa sepakat. Karena perkembangan kasusnya tidak seperti keterangan resminya. Kalau disebut Bharade E adalah penembaknya. Apakah Bharade E sudah ditahan? Atau minimal sudah dimintai keterangan? Sudah dibikin BAP nya? Lalu di mana keberadaannya? Yang menembak Bharada E. Yang dinonaktifkan Irjen FS, Brigjen HK, dan Kombes BHS. Ada ketidaknyambungan logika sebab-akibat di sini. Belum lagi kalau sudah masuk tahap analisa. Bukan sekedar fakta. Bagaimana pistol Glock 17 bisa berada di tangan Bharada E? Kalau itu yang dibawa dinas sehari-hari, sudah terjadi pelanggaran. Menurut keterangan Disway.id, Glock 17 itu digunakan untuk level AKBP. Kalau yang dimaksudkan: logikanya, tempat jelas, pelaku-korban meninggal jelas, korban pelecehan jelas, pelaku tembak menembak jelas, motif jelas, alat bukti jelas, maka kasus harusnya selesai. Fakta akibatnya, orang-orang yang dinonaktifkan atau ditahan tidak mencerminkan itu, Bah

Jimmy Marta: Penuh curiga penuh prasangka, itulah yg ada ditengah masyarakat menyikapi keterangan pihak polisi. Itu juga karena ada info yg disampaikan pihak keluarga yosua dan pengacaranya. Bagi penyidik atau penyelidik curiga itu adalah 'jiwa' nya. Malah terus diasah. Sering jadi pijakan awal untuk menyelidik. Banyak pelaku kasus pidana bisa diungkap polisi diawali rasa curiga. Tentu ada ilmunya pd polisi untuk memproses rasa curiga itu. Lantas jika ada pihak yg mencurigai proses polisi pd kasus duren tiga itu, tentu juga ada dasarnya. Ada data fakta yg berkembang. Pun masyarakat punya opini itu juga karena ada berita dan logika nya. Bgmn mengatasi saling mencurigai itu..? Ungkap kebenaran. Hanya itu.

Johannes Kitono: Sepak bola adalah permainan yang banyak penggemarnya didunia terlebih lebih di Indonesia. Misalnya, kalau Persebaya main di Jakarta boneknya konvoi naik bus atau KA berbondong bondong menuju ibukota. Memang peraturan sepakbola sangat sederhana. Untuk menang, cukup masukkan saja bola ke gawang lawan. Boleh dari seluruh badan dari kaki sampai kepala kecuali dengan tangan. Nah, ketika menonton pertandingan baik langsung dilapangan maupun via TV. Penonton suka gemes, penasaran dan terkadang marah marah. Kok begitu saja tidak bisa goal, terlebih lebih tendangan saat penalti. Umumnya penonton apalagi yang waktu kecil atau mudanya pernah bermain sepakbola "merasa bisa" dan gampang mainnya. Pada hal kalau disuruh ikut main dan turun kelapangan mungkin bisa mati berdiri. Dengan adanya kasus " Polisi tembak mati polisi dirumah jendral polisi" yang belum terungkap, mass media dan medsospun jadi ramai. Penuh dengan berita, baik single atau multi image yang mencoba menggiring opini ke pembaca. Seperti penonton sepakbola, semuanya merasa bisa main, pendapat, strategi dan investigasi merekalah yang paling mendekati kebenaran. Seyogyanya, biarkanlah polisi melakukan Scientific Crime Incestigation. Jangan di campur adukkan dengan Jelangkung atau News Crime Investigation yang tentu akan semakin membingungkan.

Mirza Mirwan: Yang sampai sekarang membuat saya tak kunjung paham adalah jumlah ajudan perwira tinggi Polri. Irjen Ferdi Sambo, misalnya, semasih aktif sebagai Kadiv Propam terlihat berfoto bersama 8 ajudan. Konon malah jumlah seluruhnya 13 orang. Itu baru jenderal bintang dua. Kalau, misalnya, yang bintang tiga mungkin lebih banyak lagi. Apalagi yang bintang empat, Kapolri. Lah, kalau demikian halnya, berapa ratus polisi -- di Mabes Polri saja -- yang tugasnya hanya menjadi ajudan? Yang tidak masuk nalar saya juga ini: lebih tinggi mana sih hirarki antara ajudan yang mengawal jenderal dan ajudan yang ditugaskan menjadi isteri jenderal? Menurut logika awam saya, tentu saja lebih tinggi ajudan yang mengawal jenderal. Lah, mengapa dalam kasus Irjen Ferdi Sambo kok seorang bharada (tamtama dengan tanda pangkat satu balok merah) menjadi pengawal sang jenderal, sementara seorang brigadir (bintara dengan tanda pangkat tiga mata panah berwarna perak) hanya menjadi sopir isteri jenderal? Bukankah itu terbalik? Ataukah para ajudan itu mau ditugaskan sebagai apa, suka-suka sang jendera? Menurut logika awam saya, harusnya ada aturan baku dan tertulis. Sayangnya, seorang AKP (kawan SMA si Sulung) yang saya tanya bilang tidak tahu. "Saya juga tidak paham, Pak," jawabnya.

Teguh Wibowo: Dugaan saya bapak lagi pengen masak sop buntut atau tengkleng, soalnya bapak bilang "kalau tidak bisa membersihkan ekornya maka saya akan bersihkan kepalanya". Lha trus paha, perut dan jerohannyamau diapakan pak?

Liam Then: Di kaki lima pasar, lampu ublik bercahaya redup menerangi meja kayu kecil. Beberapa orang mengelilingi meja. Seorang terlihat duduk sibuk, orat -oret buku kecil. semua lembar di oret habis, lalu diberikan kepada seorang bapak. Sang bapak memicing mata, memeriksa semua oretan di atas kertas. Puas. Kemudian tersenyum sumringah. Sang teman memandang curiga. "Apa kau buat, satu buku habis kau tulis, 1058. Dapat dari mana kau?! " "Rahasia" Sang bapak tersenyum misterius. Begitulah kira-kiranya rekaan kejadian yang mungkin banget terjadi. Kalau Disway ada dijaman SDSB dulu, dan terbit dengan judul seperti di atas.

*) Diambil dari komentar pembaca http://disway.id

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait