Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: bahasa bola.
Maka satu-satunya bahasa yang harus digunakan di lapangan bola adalah bahasa bola. Jangan bahasa yang lain. Apalagi bahasa gas air mata. Tidak boleh ada yang sensi di situ. Pun ketika dicaci dan terkena ludah. Bahkan pecahan air kencing yang dibungkus plastik.
Kita harus ingat: saat mengheningkan cipta untuk menghormati Ratu Elizabeth yang meninggal dunia pun menggema teriakan booooo... dari tribun Anfield, stadion Liverpool. Ratu Elizabeth, pemilik Inggris, diejek di saat yang amat tidak tepat. Ratu tidak emosi. Yang waras mengalah.
Semua kerusuhan di arena sepa kbola selalu ada penyebabnya. Beda-beda. Ada yang karena timnya kalah tapi tidak seharusnya kalah. Wasit yang memihaklah yang menyebabkan kekalahan itu.
Ada juga kalah oleh penyebab lain: pemain bintang pujaan mereka diperlakukan kasar oleh pemain lawan. Sampai pemain itu dibawa ke luar lapangan.
Kekalahan Arema FC kemarin tanpa penyebab seperti itu. Memang penonton emosi. Gara-garanya: Arema menyerang terus tapi kok tidak bisa bikin gol –apalagi dua kali bola Arema membentur tiang gawang.
Emosi jenis ini akan reda sendiri. Asal tidak ada penyebab tambahan yang lain. Mereka hanya perlu waktu untuk meredakan emosi. Jangan sampai saat menunggu reda itu muncul kejadian lain.
Penyebab lain itu misalnya: ada pemain lawan membalas lemparan dari tribun dengan mengembalikan benda yang dilempar itu ke tribun. Yang seperti itu sama sekali tidak boleh dilakukan.
Apalagi benda yang dilemparkan itu biasanya juga bukan yang membahayakan. Salah satunya berupa botol aqua yang isinya sudah diganti warna kuning. Cairan kuning-pesing itu biasanya sudah muncrat saat botol mengenai tanah.
Jangankan membalas lemparan, membalas cacian pun tidak boleh. Itu bisa menyulut emosi tuan rumah. Pokoknya lawan yang menang harus pandai-pandai membaca situasi stadion. Mereka tetap boleh selebrasi di tengah stadion. Asal sudah dilihat situasi memungkinkan.
Malam itu, di Kanjuruhan, tidak ada semua penyebab seperti itu. Tidak ada selebrasi di tengah lapangan. Pemain Persebaya juga langsung menuju lorong ruang ganti. Saya, malam itu, hanya melihat tidak digunakannya bahasa bola di sana.
Polrestabes Surabaya adalah salah satu yang terbaik dalam menggunakan bahasa bola. Perbaikan pelaksanaan pertandingan terus mereka dilakukan. Termasuk memanfaatkan teknologi.
Zaman teknologi ini harusnya lebih mudah. Tidak perlu lagi ada loket karcis di stadion. Pembelian tiket dilakukan pakai aplikasi. Jumlah penonton sudah diketahui sehari sebelum pertandingan. Bahkan tren ramai-tidaknya penjualan karcis sudah diketahui lima hari sebelumnya. Dengan demikian kirka (perkiraan keadaan) bisa dibaca lebih dini.
Sistem gelang juga membantu banyak. Polisi sudah bisa tahu siapa yang pakai gelang dan tidak. Yang pakai gelang adalah yang berhak masuk kompleks stadion. Seleksi pertama bisa dilakukan jauh di luar stadion. Di jalan masuk menuju stadion. Polisi tidak perlu memeriksa. Cukup melirik lengan mereka: bergelang atau tidak.
Dengan demikian tidak ada lagi penonton tanpa karcis yang bergerombol di luar stadion. Mereka ini yang berpotensi menjebol stadion dan juga menyumbat pintu keluar/masuk stadion.
Peristiwa Bonek tiga minggu lalu tidak akan terjadi kalau pertandingannya di Surabaya. Di Stadion Gelora Bung Tomo. Hari itu stadion lagi dipakai pertandingan tim nasional. Persebaya vs Rans United FC pun dipindah ke Sidoarjo. Penonton tak bergelang tidak bisa diseleksi jauh di luar stadion. Kalau dilakukan itu akan memacetkan jalan umum. Maka yang tidak bergelang pun bisa mendekat stadion. Mereka itulah yang akhirnya berhasil masuk stadion sebelum setengah main.