Mak Edi

Jumat 23-09-2022,04:00 WIB
Editor : Ismail Fuad

Islam Nusantara belakangan menjadi istilah yang umum. Tapi orang Minang sendiri tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara. Islam ya Islam. Penolakan itu karena istilah Islam Nusantara, belakangan, lebih dihubungkan dengan Walisongo dan adat Jawa. Dan lagi Prof Azra memang tidak banyak menyebut jaringan Walisongo dalam penelitian ilmiah untuk buku Jaringan Ulama. Ini juga dipersoalkan oleh intelektual muda Islam seperti Aguk Irawan MN. Dan Prof Azra, kata Aguk, dalam sebuah tulisannya, mengakui itu.

Aguk, anak Lamongan nan NU, adalah sastrawan terkemuka dan pemikir muda Nahdliyin. Ia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Arab. Ia alumni Al Azhar Kairo di ilmu filsafat akidah. Doktornya dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Novelnya Titip Rindu ke Tanah Suci mendapat penghargaan sastra. 

Ulama Indonesia yang banyak disebut dalam jaringan Azra adalah Abdurrauf as-Singkili. Ulama dari Singkil, Aceh. Bacalah sendiri buku Prof Azra. Yang dijual di Tokopedia dengan harga Rp 190.000.

Orang seperti Prof Komar dan Prof Azra adalah contoh intelektual yang dilahirkan secara sengaja. Kampus Ciputat memang lambang kebangkitan intelektual Islam yang bisa diterima Barat.

Tokoh di balik semua itu adalah Munawir Sjadzali. Ia menteri agama di zaman Pak Harto yang berlatar belakang diplomat. Pikirannya lebih global. Maka ia dorong alumni UIN di mana pun untuk meraih gelar doktor di Barat. Tidak lagi hanya di Mesir atau Arab Saudi.

Munawir adalah sopir perubahan itu. Tapi jalan untuk ke sana sudah disiapkan oleh tokoh seperti Prof Mukti Ali. Ia menteri agama yang kalau pidato sering tidak memulai dengan assalamualaikum. Ia intelektual Islam yang sering bicara langsung pada pokok persoalan. Di dirinya, iklim ilmiah tidak tenggelam oleh kalimat-kalimat basa-basi yang mubadzir.

Perintis jalan lainnya adalah Prof Harun Nasution. "Prof Harun-lah yang menyadarkan kita bahwa dalam Islam begitu banyak aliran dan kita menjadi bisa menerima perbedaan itu," ujar Prof Komar.

Maka ketika para dosen muda UIN dikirim belajar ke Barat, tidak ada lagi yang terkejut. Tidak ada lagi yang gegar budaya. "Kita-kita belajar ke Barat tidak lagi dengan perasaan was-was, curiga dan kehati-hatian yang kelewat tinggi," ujar Prof Komar.

Tentu jasa intelektual pembaharu pemikiran Islam seperti Nurcholish Madjid dan Dawan Rahardjo juga sangat besar. Keilmuan membuat mudah menerima perbedaan.

"Saya kehilangan sekali," ujar Prof Komar tentang meninggalnya Prof Azra. Tapi dua mantan rektor UIN Ciputat itu sudah melahirkan intelektual muda Islam generasi berikutnya: banyak. Misalnya, Prof.Dr.Mulyadhi Kertanegara, alumni Universitas Chicago, dari departemen filsafat. Di situ ia jadi penerus Cak Nur dalam bidang filsafat Islam.

Ada Prof Dr Jamhari Makruf, alumni ANU, antropologi. Ada Prof Dr Saiful Mujani, Ohio State University di ilmu politik. Juga Prof Oman Fathurrohman, doktor dari UI yang pakar filologi, pakar studi naskah kuno Nusantara.

Di luar itu ada Prof Dr Mun'im Sirry yang sekarang mengajar di universitas Katolik di Indiana, USA. Ia ahli sejarah Quran alumni Al Amin Prenduan, Sumenep.

Saya pun menghubungi Emily, putri bungsu Prof Azra kemarin. Dia akuntan lulusan Universitas Indonesia. Emily bilang ayahnya memang punya banyak komorbid. Darah tinggi, gula darah, kolesterol, dan asam urat. Komplet. Maka meski Covid sudah reda, ketika Prof Azra terkena virus tersebut, akibatnya sangat fatal. Ia batuk tak tertahankan di atas pesawat yang segera mendarat di Kuala Lumpur. Begitu pesawat mendarat Prof Azra dilarikan ke rumah sakit. Tapi tidak tertolong. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Penerima Bintang Maha Putra Utama –atas jasanya di proses perdamaian di Aceh.

Prof Azra meninggal dunia. Warisan ilmunya, delapan bukunya, menyebar ke seluruh dunia. (*)

Kategori :

Terkait

Jumat 23-09-2022,04:00 WIB

Mak Edi